1. Apakah ada di Indonesia penduduk asli? Kalau ada dimana domisilinya? penduduk wilayah Nusantara hanya terdiri dari dua golongan yakni
Pithecantropus Erectus beserta manusia Indonesia purba lainnya dan
keturunan bangsa pendatang di luar Nusantara yang datang dalam beberapa
gelombang.
Berdasarkan fosil-fosil yang telah ditemukan di wilayah Indonesia, dapat
dipastikan bahwa sejak 2.000.000 (dua juta) tahun yang lalu wilayah ini
telah dihuni. Penghuninya adalah manusia-manusia purba dengan
kebudayaan batu tua atau mesolithicum seperti Meganthropus Palaeo
Javanicus, Pithecanthropus Erectus, Homo Soloensis dan sebagainya.
Manusia-manusia purba ini sesungguhnya lebih mirip dengan
manusia-manusia yang kini dikenal sebagai penduduk asli Australia.
Dengan demikian, yang berhak mengklaim dirinya sebagai “penduduk asli
Indonesia” adalah kaum Negroid, atau Austroloid, yang berkulit hitam.
Manusia Indonesia purba membawa kebudayaan batu tua atau palaeolitikum
yang masih hidup secara nomaden atau berpindah dengan mata pencaharian
berburu binatang dan meramu. Wilayah Nusantara kemudian kedatangan
bangsa Melanesoide yang berasal dari teluk Tonkin, tepatnya dari
Bacson-Hoabinh. Dari artefak-artefak yang ditemukan di tempat asalnya
menunjukan bahwa induk bangsa ini berkulit hitam berbadan kecil dan
termasuk type Veddoid-Austrolaid.
Bangsa Melanesoide dengan kebudayaan mesolitikum yang sudah mulai hidup
menetap dalam kelompok, sudah mengenal api, meramu dan berburu
binatang.Teknologi pertanian juga sudah mereka genggam sekalipun mereka
belum dapat menjaga agar satu bidang tanah dapat ditanami berkali-kali.
Cara bertani mereka masih dengan sistem perladangan. Dengan demikian,
mereka harus berpindah ketika lahan yang lama tidak bisa ditanami lagi
atau karena habisnya makanan ternak. Gaya hidup ini dinamakan semi
nomaden. Dalam setiap perpindahan manusia beserta kebudayaan yang datang
ke Nusantara, selalu dilakukan oleh bangsa yang tingkat peradabannya
lebih tinggi dari bangsa yang datang sebelumnya.
2. Kenapa timbul isu istilah Pribumi dan Non Pribumi? Setelah berlakunya UU 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia, maka setiap manusia yang lahir di Indonesia dianggap warga
negara Indonesia tanpa ada memandang istilah pribumi atau non-pribumi
yang melekat karena perbedaan latar belakang etnis.
Ada beberapa kriteria Warga Negara Indonesia (WNI) dalam UU 12 tahun 2006, antara lain:
• Seorang yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah WNI dan
Ibu WNI, ayah WNI dan ibu WNA, atau ayah WNA dan ibu WNI.
• anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada
waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya
• Orang asing yang telah berjasa kepada negara Republik
Indonesia atau dengan alasan kepentingan negara (diberikan oleh
Presiden dan pertimbangan DPR RI) Atas dasar UU diatas dan latar
belakang munculnya isu pribumi dan non pribumi yang telah dijelaskan,
sangatlah tidak pantas apabila isu ini masih dipermasalahkan dan
diungkit kembali di masa ini.
Isu pribumi dan non pribumi hanyalah hasil dari perlakuan diskriminatif
pada masa penjajahan dahulu. Sebagai mahasiswa dan warga negara
Indonesia, kita memiliki hak dan kewajiban membangun bangsa ini. Kita
harus kembali berpedoman pada UUD 1945 dan UU 12 tahun 2006 mengenai
dasar dasar kriteria warga negara Indonesia. Apabila kita sudah mengakui
sebagai sesama WNI, kita sudah tidak boleh memandang perbedaan suku,
ras, budaya, dan agama sebagai permasalahan, dan saling merendahkan
status antara satu dengan lainnya. Kita wajib menyadarkan sesama kita
bahwa tantangan terbesar yang sedang kita hadapi bukanlah etnis,
suku,warna kulit ataupun agama. Bukan juga perbedaan pribumi dan
non-pribumi. Tapi hal yang terbesar adalah ketidakadilan, kemiskinan,
lunturnya nasionalisme membangun bangsa, dan ancaman pihak asing dalam
bentuk ekonomi, politik, pertahanan dan multi nasional. Perjuangan kita
adalah untuk mewujudkan sistem pemerintah yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial.
3. Siapa saja yang dimaksud non pribumi? Pribumi dan non pribumi sejatinya adalah suatu identitas diri manusia
yang dibawa sejak lahir. Seseorang dikatakan sebagai warga pribumi
apabila dilahirkan di suatu tempat atau wilayah atau negara dan menetap
di sana. Pribumi ini bersifat autichton (melekat pada suatu tempat).
Secara lebih khusus, istilah pribumi ditujukan kepada setiap orang yang
yang terlahir dengan orang tua yang juga terlahir di suatu tempat
tersebut. Pribumi sendiri memiliki ciri khas, yakni memiliki bumi (tanah
atau tempat tinggal yang berstatus hak milik pribadi). Namun dari
definisi dan penjabaran tentang pribumi di atas masih menyisakan
beberapa pertanyaan.
Pertama adalah, seseorang dikatakan pribumi dan non pribumi adalah
sekedar dari melihat fisiknya saja. Dan sudah jelas ini bertentangan
tentang makna asli yang terkandung dari istilah ‘pribumi’. Sebagai
contoh, tersebutlah sepasang suami-istri bernama Pak Budi dan Ibu Ina.
Mereka berdua adalah warga asli kota Bogor. Namun karena suatu alasan
tertentu pindahlah mereka berdua ke kota Milan di Italia. Di sana Ibu
Yani melahirkan seorang anak bernama Joko. Joko tumbuh dan besar di
Milan. Pada akhirnya Joko menikah dengan seorang perempuan keturunan
Indonesia namun lahir di Eropa yang kebetulan berkuliah di Milan,
bernamaYanti. Dari pernikahan mereka lahirlah putri mereka Intan, masih
di kota yang sama di mana mereka bertemu. Joko dan Yanti membesarkan
Intan di Milan, hingga pada akhirnya mereka berdua berniat untuk
berkunjung ke kota asal orang tua dari Joko yaitu kota Bogor di Jawa
Barat. Bersama putri mereka Intan tibalah mereka di kota Bogor.
Pertanyaannya adalah, apakah Intan pantas dan layak disebut sebagai
warga pribumi di sana? Sedangkan dia dan ayahnya dilahirkan di Milan,
Italia, dan mereka pun tidak memiliki sepetak tanah pun di Bogor. Sudah
barang tentu masyarakat di kota Bogor akan menganggap Joko dan Intan
sebagai pribumi tanpa harus menanyakan di mana mereka lahir, karena itu
sudah terlihat dari penampilan fisik mereka berdua yang memiliki ‘wajah
pribumi’.
Dari contoh paragraf di atas saja sudah jelas tentang masih abu-abunya
penentuan seseorang dianggap sebagai pribumi atau tidak. Lalu bagaimana
dengan seorang warga keturunan Tionghoa (sebut saja bernama Hendro),
yang memiliki sebidang tanah di suatu daerah di Indonesia warisan dari
nenek-moyangnya yang sejak zaman Hindia Belanda lahir besar dan tinggal
di Indonesia, pantaskah disebut sebagai seorang warga pribumi? Apabila
merujuk dari definisi asli tentang ‘pribumi’ pada paragraf kedua, Hendro
adalah seorang pribumi. Namun apakah masyarakat yang tinggal di
sekitarnya ‘rela’ menyebut Hendro sebagai warga pribumi asli Indonesia?
Nampaknya hal itu sangat mustahil.
4. Kenapa istilah non pribumi yang menonjol hanya pada etnis tionghoa? semakin lebarnya jurang pemisah antara etnis Tionghoa dengan etnis lainnya yang
ada di Indonesia, seperti hasil observasi yang dilakukan Tan (dalam Susetyo,
1999) dikatakan memang terdapat kesan bahwa hubungan antar etnis Tionghoa
dengan etnis Indonesia lainnya cenderung tegang dan saling curiga (Warnean
dalam Susetyo, 1999)
Sejak jaman penjajahan Hindia Belanda sampai sekarang, hubungan antara
etnis Tionghoa dengan etnis Pribumi lainnya terus-menerus diwarnai konflik,
mulai dari konflik terbesar yaitu politik ”memecah belah bangsa” (devide et
impera) yang sengaja dibuat oleh Belanda untuk memecah belah bangsa
Indonesia, pemberontakan PKI tahun 1965, tragedi Mei 1998, dan konflik-konflik
lainnya. Politik ”memecah belah bangsa” merupakan awal munculnya gerakangerakan
anti-Cina. Hal ini disebabkan oleh pemberian kedudukan yang istimewa
terhadap etnis Tionghoa dalam struktur kemasyarakatan pada saat itu, yaitu di
bawah Belanda dan di atas Pribumi. Posisi orang Tionghoa ini menjadi wahana
yang subur bagi tumbuh kembangnya perasaan superior. Situasi ini telah memicu
munculnya prasangka pada golongan etnis Tionghoa terhadap golongan etnis
Pribumi (Helmi, 1991).
Masa-masa yang menguntungkan bagi etnis Tionghoa tersebut kemudian
berakhir pada pemberontakan PKI 1965 dan tragedi Mei 1998. Pada saat itu,
orang Tionghoa menjadi sasaran kemarahan massa, dan muncul aksi-aksi
diskriminatif seperti aksi kekerasan ”anti-Cina”. Etnis Tionghoa diduga turut
mendukung pemberontakan tersebut, akibatnya kekerasaan massa anti-Cina mulai
marak, dan pada tragedi Mei 1998, etnis Tionghoa juga menjadi korban
kemarahan massa. Perumahan dan pertokoan milik etnis Tionghoa dibakar, dan
perempuan keturunan Tionghoa diperkosa (Toer, 1998). Tragedi ini merupakan
representasi paling nyata dari adanya prasangka terhadap etnis Tionghoa
(Gerungan, 2002).
Pengalaman traumatis yang dialami baik oleh golongan Pribumi ataupun
golongan Tionghoa sejak jaman penjajahan Hindia Belanda sampai sekarang
menyebabkan prasangka pada masing-masing pihak semakin kental (Sarwono,
1999). Prasangka di kalangan Pribumi tentang golongan Tionghoa adalah orang
Tionghoa selalu diberi fasilitas, sedangkan Pribumi tidak, memiliki nasionalisme
yang rendah, eksklusif, kikir,sombong, dan plin-plan dengan mengira bahwa
semuanya bisa dibeli dengan uang. Di pihak lain golongan Tionghoa juga
berprasangka kepada golongan Pribumi. Menurut penelitian Willmot dalam
Sarwono (1999), golongan non-Pribumi (orang Tionghoa) merasa dirinya lebih
pandai dan lebih canggih daripada Pribumi. Golongan Pribumi pemalas dan tidak
dapat dipercaya (Sarwono, 1999).
Permasalahan antar etnis ini dapat ditinjau dari social-categorization
theory yang dikemukakan oleh Turner, dkk (1987) bahwa dalam kehidupan
sehari-harinya, individu memiliki kecenderungan untuk membagi dunia sosial
mereka menjadi dua kategori yang jelas, yaitu ”kita” dan ”mereka” atau ”us
versus them”. Dalam kaitannya dengan permasalahan etnis yang terjadi di
Indonesia, baik kelompok etnis Pribumi maupun kelompok etnis Tionghoa telah
membuat kategorisasi sosial berdasarkan pada karakteristik fisik yang menonjol
seperti warna kulit, bahasa yang digunakan, agama yang dianut dan karakteristik
fisik lainnya (Sears, Freedman, dan Peplau, 1985). Kelanjutan dari kecenderungan
ini adalah individu akan memandang kelompok ingroup lebih baik dibandingkan
kelompok outgroup. Kelompok outgroup biasanya akan dinilai secara negatif
seperti memiliki karakteristik yang kurang dapat diterima dan konsekuensinya
kelompok outgroup tidak disukai oleh mereka yang mengkategorikan dirinya
sebagai kelompok ingroup (Soeboer, 1990). Tjun dalam Sarwono (1999)
menemukan bahwa di kalangan siswa Pribumi dan non-Pribumi, pandangan
terhadap kelompok ingroup selalu lebih positif daripada outgroup, sedangkan
Hastuti dalam Sarwono (1999) menemukan bahwa karyawan Pribumi yang berada
dalam lingkungan kerja dengan mayoritas non-Pribumi (Tionghoa) bersikap lebih
positif terhadap non-Pribumi daripada Pribumi yang bekerja di lingkungan di
mana ia sendiri menjadi minoritas.
Menurut Brewer dan Miller dalam Mendatu (2007), perasaan ingroup dan
outgroup berhubungan dengan rasa kepercayaan (trust). Kelompok ingroup akan
memandang kelompoknya sendiri lebih bisa dipercaya sedangkan semua anggota
kelompok outgroup, sama yaitu semuanya tidak bisa dipercaya. Hal yang sama
juga terjadi dalam dunia kerja. Menurut Ahmadi dalam Irmawati (1996), adanya
prasangka dalam diri seorang pengusaha ataupun karyawan akan membuat mereka
membatasi situasi yang bersangkut paut dengan subjek yang diprasangkainya atau
dengan kata lain cenderung mempersepsikannya dengan cara yang sama.
Misalnya seorang pengusaha meyakini bahwa kemampuan kerja karyawan yang
berasal dari satu suku / ras tertentu (outgroup) jelek atau rendah, maka atas dasar
keyakinan ini segala pengalaman yang diperolehnya mengenai suku / ras tersebut
akan dianggap sama dari segi keyakinan tadi. Dengan kata lain, pengusaha
tersebut tidak mempercayai (distrust) karyawan dari suku / ras tertentu (outgroup)
berdasarkan pada keyakinan yang dimiliki sebelumnya (Irmawati, 1996).
Trust merupakan hal yang sangat diperlukan dalam kehidupan organisasi
supaya hubungan antar individu dapat berjalan dengan baik sehingga
meningkatkan produktifitas dan performansi kerja (Robbins, 2005). Tanpa adanya
trust, kesuksesan suatu projek tidak akan tercapai, sebaliknya energi dan uang
akan terbuang sia-sia. Trust merupakan perasaan yang dinamis. Setiap perilaku
yang ditunjukkan individu dalam suatu organisasi akan menurunkan atau
menaikkan derajat kepercayaan (trust) yang dirasakan orang lain terhadapnya
(Johnson & Johnson, 2000). Trust bukan merupakan hal yang mudah untuk
dibangun, terutama apabila hubungan antar kedua pihak tersebut
dikarakteristikkan dengan adanya resiko yang tinggi. Trust meliputi kepercayaan
bahwa seseorang akan menunjukkan perilaku yang konsisten, jujur, bisa
dipercaya, dan termotivasi secara intrinsik untuk bekerja melebihi target (Fletcher
& Clark, 2001). Interaksi yang intens akan membuat seseorang mampu untuk
memprediksi bagaimana sifat seseorang di masa yang akan datang.
Menurut Flynn & Chatman (2002), trust dipengaruhi oleh kategorisasi
sosial (social categorization). Social categorization merupakan salah satu sumber
penyebab munculnya prasangka, yaitu individu cenderung untuk membagi dunia
sosial mereka menjadi dua kelompok, yaitu kelompok ingroup dan outgroup.
Pada dunia kerja dimana terdapat karyawan Pribumi dan non-Pribumi
(karyawan etnis Tionghoa) akan sering muncul prasangka. Diduga terjadinya
prasangka ini sebagai akibat adanya perbedaan posisi atau kedudukan jabatan
dimana karyawan non-Pribumi lebih banyak menduduki jabatan yang lebih tinggi
dibanding karyawan Pribumi sekalipun tingkat pendidikan karyawan Pribumi
lebih tinggi dari karyawan non-Pribumi (Irmawati, 1996).
5. Langkah apa yang dapat anda sarankan untuk menghilangkan isu pribumi dan non pribumi di Indonesia? Negara ini terdiri dari berbagai suku, agama, ras, maka itu marilah kita
berpikir ulang, sebenarnya apa yang salah. yang seharusnya dilakukan
adalah bagaimana cara mengedukasi orang – orang yang rasialis/yang suka
mendiskriminasikan dapat menerima "perbedaan", sehingga kita yang dari
berbagai macam itu dapat bekerjasama dalam membangun negara ini jauh
lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar