Senin, 25 November 2013

VII. Environment Impact Analysis ( AMDAL )

Environment Impact Analysis ( AMDAL )

Analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) pertama kali dicetuskan berdasarkan atas ketentuan yang tercantum dalam pasal 16 Undang-undang No.4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Berdasarkan amanat pasal 16 tersebut diundangkan pada tanggal 5 Juni 1986 suatu Peraturan Pemerintah No.29 tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Peraturan pemerintah (PP) No.29/ 1986 tersebut berlaku pada tanggal 5 Juni 1987 yaitu selang satu tahun setelah di tetapkan. Hal tersbut diperlukan karena masih perlu waktu untuk menyusun kriteria dampak terhadap lingkungan sosial mengingat definisi lingkungan yang menganut paham holistik yaitu tidak saja mengenai lingkungan fisik/kimia saja namun meliputi pula lingkungan sosial.
Berdasarkan pengalaman penerapan PP No.29/1986 tersebut dalam deregulasi dan untuk mencapai efisiensi maka PP No.29/1986 diganti dengan PP No.51/1993 yang di undangkan pada tanggal 23 Oktober 1993. Perubahan tersebut mengandung suatu cara untuk mempersingkat lamanya penyusunan AMDAL dengan mengintrodusir penetapan usaha dan/ atau kegiatan yang wajib AMDAL dengan keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup dengan demikian tidak diperlukan lagi pembuatan Penyajian Informasi Lingkungan (PIL).
Perubahan tersebut mengandung pula keharusan pembuatan ANDAL, RKL, dan RPL di buat sekaligus yang berarti waktu pembuatan dokumen dapat diperpendek. Dalam perubahan tersebut di introdusir pula pembuatan dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) bagi kegiatan yang tidak wajib AMDAL. Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL) ditetapkan oleh Menteri Sektoral yang berdasarkan format yang di tentukan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup. Demikian pula wewenang menyusun AMDAL disederhanakan dan dihapuskannya dewan kualifikasi dan ujian negara. Kemudian juga dampak lingkungan terdapat juga inti – inti nya yaitu sebagai berikut dan terdapat pengertian – pengertian yang saya ketahui :

1.      Definisi AMDAL
AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/ atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/ atau kegiatan.
2.      Dasar hukum AMDAL
Sebagai dasar hukum AMDAL adalah PP No.27/ 1999 yang di dukung oleh paket keputusan menteri lingkungan hidup tentang jenis usaha dan/ atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan AMDAL dan keputusan kepala BAPEDAL tentang pedoman penentuan dampak besar dan penting.
3.      Tujuan dan sasaran AMDAL
Tujuan dan sasaran AMDAL adalah untuk menjamin suatu usaha atau kegiatan pembangunan dapat berjalan secara berkesinambungan tanpa merusak lingkungan hidup.Dengan melalui studi AMDAL diharapkan usah dan / atau kegiatan pembangunan dapat memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam secara efisien, meminimumkan dampak negatip dan memaksimalkan dampak positip terhadap lingkungan hidup.
4.      Tanggung jawab pelaksanaan AMDAL
Secara umum yang bertanggung jawab terhadap koordinasi proses pelaksanaan AMDAL adalah BAPEDAL (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan).
5.      Kegunaan Setudi Amdal

·         Bagi Pemerintah :

Membantu pemerintah dalam proses pengambilan keputusan, perencanaan dan   pengelolaan lingkungan dalam hal pengendalian dampak negatif dan mengembangkan dampak positif yang meliputi aspek biofisik, sosial ekonomi, budaya dan kesehatan masyarakat. Mengintegrasikan pertimbangan lingkungan dalam tahap perencanaan rinci pada suatu kegiatan Pembangunan.Sebagai pedoman dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan pada suatu kegiatan Pembangunan.

·         Bagi Pemrakarsa :

Mengetahui permasalahan lingkungan yang mungkin timbul di masa yang akan dating dan cara-cara pencegahan serta penanggulangan sebagai akibat adanya kegiatan suatupembangunan. Sebagai pedoman untuk melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkunganSebagai bahan penguji secara komprehensif dari kegiatan pengelolaan dan pemantauan lingkungan untuk kemudian mengetahui kekurangannya.

·         Bagi Masyarakat :

Mengurangi kekuatiran tentang perubahan yang akan terjadi atas rencana kegiatan suatu pembangunan.Memberikan informasi mengenai kegiatan Pembangunan Industri , sehingga dapat mempersiapkan dan menyesuaikan diri agar dapat terlibat dalam kegiatan tersebut.Memberi informasi tentang perubahan yang akan terjadi, sehingga masyarakat dapat memanfaatkan dampak positif dan menghindarkan dampak negatif.Sebagai bahan pertimbangan untuk berpartisipasi dalam kegiatan pengelolaan lingkungan.

6.      Dasar pelaksanaan
Pada pelaksanaan studi AMDAL terdapat beberapa komponen dan parameter lingkungan yang harus dijadikan sebagai sasaran studi, antara lain :
1.              Komponen Geo-Fisik-Kimia antra lain : Iklim dan Kualitas Udara, Fisiografi, Geologi Ruang, Lahan dan Tanah, Kualitas Air Permukaan,
2.              Komponen Biotis antara lain : Flora, Fauna, Biota Sungai, Biota Air Laut
3.              Komponen Sosial Ekonomi dan Budaya antara lain : Sosial Ekonomi , Sosial Budaya
4.              Komponen Kesehatan Masyarakat antara lain Sanitasi Lingkungan dan Kesehatan Masyarakat.

7.      Perundang-Undangan  dan Peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan pelaksanaan Studi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) antara lain :
1.      Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1960 Tentang Pokok -pokok Agraria.
2.      Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistem (Lembaran Negara RI Tahun 1990 No. 49 Tahun 1990 Tambahan Lembaran Negara No 3419).
3.      Undang-Undang RI No. 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Permukiman
4.      Undang-Undang RI No. 14 Tahun 1992 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
5.      Undang-Undang RI No. 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 No. 115, Tambahan Lembaran Negara No 3501).
6.      Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1994 Tentang Pengesahan United Nations Conventation On Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati
7.      Undang-Undang RI No 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Republik Indonesia Tahun 1997 No. 68 Tambahan Lembaran Negara No. 3699).
8.      Undang-Undang RI No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah
9.      Undang-Undang RI No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.

Peraturan yang terkait dengan pelaksanaan Studi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) antara lain :
1.      Peraturan Pemerintah RI No. 22 Tahun 1982 Tentang Tata Pengaturan Air.
2.      Peraturan Pemerintah RI No. 28 Tahun 1985 Tentang Perlindungan Hutan.
3.      Peraturan Pemerintah RI No 35 Tahun 1991 Tentang Sungai.
4.      Peraturan Pemerintah RI No.69 Tahun 1996 Tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, serta Bentuk dan Tata Cara Peran serta Masyarakat dalam Penataan Ruang.
5.      Peraturan Pemerintah RI No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah untuk Penggantian.
6.      Peraturan Pemerintah RI No. 27 Tahun 1999 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 59 Tambahan Lembaran Negara No.3838).
7.      Peraturan Pemerintah RI No. 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara.
8.      Peraturan Pemerintah RI No. 20 Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan Pembangunan
9.      Peraturan Pemerintah RI No. 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Beberapa keputusan pemerintah yang terkait dengan pelaksanaan Studi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) antara lain :
1.      Keputusan Presiden RI No 32 Tahun 1990 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.
2.      Keputusan Presiden RI No 75 Tahun 1990 Tentang Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional.
3.      Keputusan Presiden RI No. 552 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
4.      Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. 02/MENKLH/1988 tentang Pendoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan
5.      Keputusan Menteri PU.No 45/PRT/1990 tentang Pengendalian Mutu Air pada Sumber-sumber Air.
6.      Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. KEP-30/MENLH /7/1992 tentang Panduan Pelingkupan untuk Penyusunan Kerangka Acuan ANDAL.
7.      Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 056/1994 tentang Pedoman Mengenai Ukuran Dampak Penting.
8.      Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No. 103.K/008/M.PE/1994 tentang Pengawasan atas Pelaksanaan Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkungan dalam Bidang Pertambangan dan Energi.
9.      Keputusan Menteri PU. No 58/KPTS/1995 Petunjuk Tata Laksana AMDAL Bidang Pekerjaan Umum.
10.  Keputusan Menteri PU.No. 148/KPTS/1995 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan RKL dan RPL, Proyek Bidang Pekerjaan Umum.
11.  Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. KEP-13/MENLH /3/1995 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak.
12.  Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. KEP-43/MENLH/ 10/1996 tentang Kriteria Kerusakan Lingkungan Bagi Usaha atau Kegiatan Penambangan Bahan Galian Golongan C Jenis Lepas di Daratan.
13.  Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. KEP-48/MENLH/ 11/1996 tentang Baku Mutu Tingkat Kebisingan.
14.  Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. KEP-49/MENLH/ 11/1996 tentang Baku Tingkat Getaran.
15.  Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. KEP-50/MENLH /11/1996 tentang Baku Tingkat Kebauan.
16.  Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. KEP-45/MENLH/10/1997 tentang Indeks Standar Pencemar Udara.
17.  Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. KEP-03/MENLH /1/1998 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kawasan Industri.
18.  Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 17 tahun 2001 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.
19.  Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 37 Tahun 2003 tentang Metoda Analisis Kualitas Air Permukaan dan Pengambilan Contoh Air Permukaan.
20.  Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 110 Tahun 2003 tentang Pedoman Penetapan Daya Tampung Beban Pencemaran Air pada Sumber Air.
21.  Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 112 Tahun 2003 tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik.
22.  Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 142 Tahun 2003 tentang Pedoman Mengenai Syarat dan Tata Cara Perizinan serta Pedoman Kajian Pembuangan Air Limbah ke Air atau Sumber Air.
23.  Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan No. KEP-205/BAPEDAL/07/1996 tentang Pedoman Teknis Pengendalian Pencemaran Udara Sumber Tidak Bergerak.
24.  Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan No. KEP-299/11/1996 tentang Pedoman Teknis Kajian Aspek Sosial dalam Penyusunan AMDAL.
25.  Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan No. KEP-105 tahun 1997 tentang Panduan Pemantauan Pelaksanaan Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL).
26.  Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan No. 107/BAPEDAL/2/1997 tentang Perhitungan dan Pelaporan serta Informasi Indeks Standar Pencemar Udara.
27.  Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan No. KEP-124/12/1997 tentang Panduan Kajian Aspek Kesehatan Masyarakat dalam Penyusunan AMDAL.
28.  Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan No. 08 tahun 2000 tentang Keterlibatan Masyarakat dan Keterbukaan Informasi dalam Proses AMDAL.
29.  Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan No. 09 tahun 2000 tentang Pedoman Penyusunan AMDAL.
30.  Peraturan Daerah terkait yang relevan lainnya dengan studi ini.

8.      Mulainya studi AMDAL

AMDAL merupakan bagian dari studi kelayakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan. Sesuai dengan PP No./ 1999 maka AMDAL merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan ijin melakukan usaha dan / atau kegiatan .

AMDAL Dan Perijinan

Agar supaya pelaksanaan AMDAL berjalan efektif dan dapat mencapai sasaran yang diharapkan , pengawasannya dikaitkan dengan mekanisme perijinan rencana usaha atau kegiatan. Berdasarkan PP no.27/ 1999 suatu ijin untuk melakukan usaha dan/ atau kegiatan baru akan diberikan bila hasil dari studi AMDAL menyatakan bahwa rencana usaha dan/ atau kegiatan tersebut layak lingkungan. Ketentuan dalam RKL/ RPL menjadi bagian dari ketentuan ijin.

Pasal 22 PP/ 1999 mengatur bahwa instansi yan bertanggung jawab (Bapedal atau Gubernur) memberikan keputusan tidak layak lingkungan apabila hasil penilaian Komisi menyimpulkan tidak layak lingkungan.Keputusan tidak layak lingkungan harus diikuti oleh instansi yang berwenang menerbitkan ijin usaha.Apabila pejabat yang berwenang menerbitkan ijin usaha tidak mengikuti keputusan layak lingkungan, maka pejabat yang berwenang tersebut dapat menjadi obyek gugatan tata usaha negara di PTUN. Sudah saatnya sistem hukum kita memberikan ancaman sanksi tidak hanya kepada masyarakat umum , tetapi harus berlaku pula bagi pejabat yang tidak melaksanakan perintah Undang-undang seperti sanksi disiplin ataupun sanksi pidana.

Prosedur penyusunan AMDAL

Secara garis besar proses AMDAL mencakup langkah-langkah sebagai berikut:

1.Mengidentifikasi dampak dari rencana usaha dan/atau kegiatan
2.Menguraikan rona lingkungan awal
3.Memprediksi dampak penting
4.Mengevaluasi dampak penting dan merumuskan arahan RKL/RPL.
Dokumen AMDAL terdiri dari 4 (empat) rangkaian dokumen yang dilaksanakan secara berurutan , yaitu:
1.Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan (KA-ANDAL)
2.Dokumen Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL)
3.Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL)
4.Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL)

Pendekatan Studi AMDAL
Dalam rangka untuk mencapai efisiensi dan efektivitas pelaksanaan AMDAL, penyusunan AMDAL bagi rencana usaha dan/atau kegiatan dapat dilakukan melalui pendekatan studi AMDAL sebagai berikut:
1.Pendekatan studi AMDAL Kegiatan Tunggal
2.Pendekatan studi AMDAL Kegiatan Terpadu
3.Pendekatan studi AMDAL  Kegiatan Dalam Kawasan
Dokumen AMDAL terdiri dari 4 (empat) rangkaian dokumen yang dilaksanakan secara berurutan, yaitu:
1.Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan (KA-ANDAL)
2.Dokumen Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL)
3.Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL)
4.Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL)

PERBEDAAN PP NO.29 Tahun 1986, PP NO.51 Tahun 1993 dan PP NO.27 Tahun 1999

Di Indonesia, AMDAL merupakan singkatan dari kalimat “Analisis Mengenai Dampak Lingkungan”. AMDAL adalah: Kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Ketentuan di atas mengacu pada peraturan pemerintah PP. No. 27 Tahun 1999 Pasal 1 butir 1.
Peraturan ini masih berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Selain mengacu pada peraturan tersebut di atas, maka landasan peraturan pemerintah tersebut di atas mengacu pada undang-undang yaitu UU RI No. 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup. Jadi sudah jelas acuan peraturan dan perundangannya, jadi sebagai bangsa dan masyarakat Indonesia kita wajib melaksanakannya sebagai perwujudan berbangsa dan bermasyarakat yang baik. Terdapat berbagai macam perbedaan pada tiap-tiap peraturan pemerintah di setiap butir-butir peraraturan.
            Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1986 yang semula dipakai sebagai landasan penyusunan dokumen Amdal dicabut dan digantikan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993. Meski banyak koreksi yang dilakukan terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1986, tetapi hakekat Amdal itu sendiri tidak berubah yaitu sebagai salah satu sarana penjamin pelaksanaan pembangunan yang berwawasan lingkungan. Diterbitkannya Undang-Undang No. 23. 1997, maka PP.51.1993 perlu penyesuaian, sehingga pada tanggal 7 Mei 1999, Pemerintah RI menerbitkan PP. No. 27 Tahun 1999 sebagai penyempurnaan PP. 51. 1993.
Efektif berlakunya PP. No. 27 Tahun 1999 mulai 7 November 2000 dan satu hal penting yang diatur dalam PP No. 27 Tahun 1999 ini adalah pelimpahan hampir semua kewenangan penilaian AMDAL kepada daerah. Selain itu, pada tiap periode pemerintahan disinyalir terdapat suatu keharusan untuk membuat /menyelenggarakan suatu peraturan-peraturan baru yang merupakan salah satu pertanda bahwa pada pemerintahan periode tersebut mereka benar – benar bekerja dan perubahan peraturan pemerintah dianggap menjadi salah satu cara untuk mempertanggung jawabkan kinerja mereka pada periode tersebut.
Perbedaan-perbedaan tersebut dapat dilihat dari perbedaan jumlah pasal pada tiap peraturan amdal yang sudah terbentuk, pada PP nomer 29 tahun 1986 terdapat 40 pasal, PP nomer 51 1993 29 pasal, PP nomer 27 1999 42 pasal. Perbedaan jumlah pasal ini dikarenakan terjadi penemuan/ pemikiran baru tentang amdal dan disesuaikan dengan peraturan terdahulu. Dalam PP No.51 tahun 1993 merupakan hasil peraturan yang didasari dari penyempurnaan PP No 29 tahun 1986.
Pemerintah mencabut PP No. 29 Tahun 1986 dan menggantikannya dengan PP No. 51 Tahun 1993 tentang AMDAL dalam rangka efektivitas dan efisiensi pelaksanaan AMDAL.Karena pelaksanaan PP No. 29 Tahun 1986 mengalami beberapa hambatan yang bersifat birokratis maupun metodologis.
Sedangkan perubahan PP No. 51 tahun 1993 lebih didasari oleh penyesuaian pemerintah terhadap undang-undang No.23 tahun 1997. Perbedaan lain yang ditemukan adalah pada PP No.29 tahun 1986 tidak diketemukan tentang penapisan berkala yang digunakan sebagai kegiatan pantauan pada kegiatan / jenis usaha.
Sedangkan pada PP No 51 tahun 1999 penapisan berkala ini dilakukan disertai dengan instansi pemerintah ataupun nonpemerintah yang memberikan ataupun melakukan kegiatan penapisan tersebut. Dalam PP No. 27Tahun 1999 Pasal 2 Ayat 3 dinyatakan terdapat tiga jenis pendekatan yaitu pendekatan studiterhadap usaha dan/atau kegiatan tunggal (AMDAL Proyek Tunggal), terpadu (AMDALTerpadu) atau kegiatan dalam kawasan (AMDAL Kawasan).
Sedangkan dalam PP No. 51 Tahun 1993 dijelaskan ada 4 jenis pendekatan studi AMDALyang meliputi AMDAL Proyek Tunggal, AMDAL Kegiatan Terpadu, AMDAL Kawasan danAMDAL Regional. Penjelasan ketiga jenis Amdal yang pertama hampir sama denganpenjelasan pada PP No. 27 Tahun 1999, perbedaannya yaitu pada PP No. 27 Tahun 1999 katadampak penting telah disempurnakan menjadi dampak besar dan penting. Sedangkan pada PP No. 29 tahun 1986 tidak dijumpai/ ditemukan pendekatan studi Amdal oleh penulis.
AMDAL DAN EKONOMI KERAKYATAN

Dengan dilaksanakannya AMDAL yang sesuai dengan aturan, maka akan didapatkan hasil yang optimal dan akan berpengaruh terhadap kebangkitan ekonomi. Kenapa demikian? Dalam masa otonomi daerah diharapkan pemerintah daerah menganut paradigma baru, antara lain:
1.    Sumber daya yang ada di daerah merupakan bagian dari sistem penyangga kehidupan masyarakat, seterusnya masyarakat merupakan sumber daya pembangunan  bagi daerah.
2.    Kesejahteraan masyarakat merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dari kelestarian sumber daya yang ada di daerah.
Dengan demikian maka dalam rangka otonomi daerah, fungsi dan tugas pemerintah daerah seyogyanya berpegang pada hal-hal tersebut dibawah ini:
1.    Pemda menerima de-sentralisasi kewenangan dan kewajiban
2.    Pemda meningkatkan pelayanan kepada masyarakat
3.    Pemda melaksanakan program ekonomi kerakyatan
4.    Pemda menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya di daerah secara konsisten.
5.    Pemda memberikan jaminan kepastian usaha
6.    Pemda menetapkan sumberdaya di daerah sebagai sumberdaya kehidupan dan bukan sumberdaya pendapatan

KEBERHASILAN IMPLEMENTASI AMDAL DI DAERAH

Sebagai syarat keberhasilan implementasi AMDAL di daerah adalah:
1.      Melaksanakan peraturan/ perundang-undangan yang ada.
Sebelum pembuatan dokumen AMDAL pemrakarsa harus melaksanakan Keputusan Kepala Bapedal 8 tahun/ 2000 tentang Keterlibatan Masyarakat dan Keterbukaan Informasi dalam Proses AMDAL yaitu harus melaksanakan konsultasi masyarakat sebelum pembuatan KA. Apabila konsultasi masyarakat berjalan dengan baik dan lancar, maka pelaksanaan AMDAL serta implementasi RKL dan RPL akan berjalan dengan baik dan lancar pula.
Hal tersebut akan berimbas pada kondisi lingkungan baik lingkungan fisik/ kimia, sosial-ekonomi-budaya yang kondusif sehingga masyarakat terbebas dari dampak negatip dari kegiatan dan masyarakat akan sehat serta perekonomian akan bangkit.
2.      Implementasi AMDAL secara profesional, transparan dan terpadu.

Apabila implementasi memang demikian maka implementasi RKL dan RKL akan baik pula. Implementai AMDAL, RKL dan RPL yang optimal akan meminimalkan dampak negatip dari kegiatan yang ada. Dengan demikian akan meningkatkan status kesehatan, penghasilan masyarakat meningkat dan masyarakat akan sejahtera.

Selain itu pihak industri dan/atau kegiatan dan pihak pemrakarsa akan mendapatkan keuntungan yaitu terbebas dari tuntutan hokum ( karena tidak mencemari lingkungan ) dan terbebas pula dari tuntutan masyarakat ( karena masyarakat merasa tidak dirugikan ). Hal tersebut akan lebih mudah untuk melakukan pendekatan sosial-ekonomi-budaya dengan masyarakat di sekitar pabrik/ industri/ kegiatan berlangsung.


http://splashurl.com/q732sku

VI. Perencanaan fisik pembangunan

PERENCANAAN FISIK PEMBANGUNAN


Skema Proses Perencanaan Pembangunan

Pembangunan berkelanjutan adalah terjemahan dari Bahasa Inggris, sustainable development. Istilah pembangunan berkelanjutan diperkenalkan dalam WorldConservation Strategy (Strategi Konservasi Dunia) yang diterbitkan oleh United Nations Environment Programme (UNEP), International Union for Conservation of Nature andNatural Resources (IUCN), dan World Wide Fund for Nature (WWF) pada 1980. Pada 1982, UNEP menyelenggarakan sidang istimewa memperingati 10 tahun gerakan lingkungan dunia (1972-1982) di Nairobi, Kenya, sebagai reaksi ketidakpuasan atas penanganan lingkungan selama ini. Dalam sidang istimewa tersebut disepakati pembentukan Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (WorldCommission on Environment and Development - WCED). PBB memilih PM Norwegia Nyonya Harlem Brundtland dan mantan Menlu Sudan Mansyur Khaled, masing-masing menjadi Ketua dan Wakil Ketua WCED. Menurut Brundtland Report dari PBB (1987), pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat, dsb) yang berprinsip “memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan”. Salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial.
 
Konsep Pembangunan Berkelanjutan ini kemudian dipopulerkan melalui laporan WCED berjudul “Our CommonFuture” (Hari Depan Kita Bersama) yang diterbitkan pada 1987. Laporan ini mendefi nisikan Pembangunan Berkelanjutan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Di dalam konsep tersebut terkandung dua gagasan penting.
 

Pertama, gagasan kebutuhan, khususnya kebutuhan esensial kaum miskin sedunia yang harus diberi prioritas utama. Kedua, gagasan keterbatasan, yang bersumber pada kondisi teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebututuhan kini dan hari depan. Jadi, tujuan pembangunan ekonomi dan sosial harus dituangkan dalam gagasan keberlanjutan di semua negara, baik negara maju maupun negara berkembang.
 
Budimanta (2005) menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah suatu cara pandang mengenai kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana dalam kerangka peningkatan kesejahteraan, kualitas kehidupan dan lingkungan umat manusia tanpa mengurangi akses dan kesempatan kepada generasi yang akan dating untuk menikmati dan memanfaatkannya. Dalam proses pembangunan berkelanjutan terdapat proses perubahan yang terencana, yang didalamnya terdapat eksploitasi sumberdaya, arah investasi orientasi pengembangan teknologi, dan perubahan kelembagaan yang kesemuanya ini dalam keadaan yang selaras, serta meningkatkan potensi masa kini dan masa depan untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
 
Pembangunan berkelanjutan tidak saja berkonsentrasi pada isu-isu lingkungan. Lebih luas dari itu, pembangunan berkelanjutan mencakup tiga lingkup kebijakan: pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan perlindungan lingkungan (selanjutnya disebut 3 Pilar Pembangunan berkelanjutan). Dokumen-dokumen PBB, terutama dokumen hasil World Summit 2005 menyebut ketiga pilar tersebut saling terkait dan merupakan pilar pendorong bagi pembangunan berkelanjutan. Idealnya, ketiga hal tersebut dapat berjalan bersama-sama dan menjadi focus pendorong dalam pembangunan berkelanjutan. Dalam buku “Bunga Rampai Pembangunan Kota Indonesia dalam Abad 21” (Buku 1) Sarosa menyampaikan bahwa pada era sebelum pembangunan berkelanjutan digaungkan, pertumbuhan ekonomi merupakan satu-satunya tujuan bagi dilaksanakannya suatu pembangunan tanpa mempertimbangkan aspek lainnya. Selanjutnya pada era pembangunan berkelanjutan saat ini ada 3 tahapan yang dilalui oleh setiap Negara. Pada setiap tahap, tujuan pembangunan adalah pertumbuhan ekonomi namun dengan dasar pertimbangan aspek-aspek yang semakin komprehensif dalam tiap tahapannya. Tahap pertama dasar pertimbangannya hanya pada keseimbangan ekologi. Tahap kedua dasar pertimbangannya harus telah memasukkan pula aspek keadilan sosial. Tahap ketiga, semestinya dasar pertimbangan dalam pembangunan mencakup pula aspek aspirasi politis dan sosial budaya dari masyarakat setempat. Tahapan-tahapan ini digambarkan sebagai evolusi konsep pembangunan berkelanjutan, seperti dalam Gambar 1 berikut ini.

Indikator / Kriteria Pembangunan Berkelanjutan
0 Januari 2009 pukul 1Phase 1 Phase 2 Phase 3
Berdasarkan konsep pembangunan berkelanjutan tersebut, maka indikator pembangunan berkelanjutan tidak akan terlepas dari aspek-aspek tersebut diatas, yaitu aspek ekonomi, ekologi/lingkungan, sosial, politik, dan budaya. Sejalan dengan pemikiran tersebut, Djajadiningrat (2005) dalam buku Suistanable Future: Menggagas Warisan Peradaban bagi Anak Cucu, Seputar Pemikiran Surna Tjahja Djajadiningrat, menyatakan bahwa dalam pembangunan yang berkelanjutan terdapat aspek keberlanjutan yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. Keberlanjutan Ekologis
2. Keberlanjutan di Bidang Ekonomi
3. Keberlanjutan Sosial dan Budaya
4. Keberlanjutan Politik
5. Keberlanjutan Pertahanan Keamanan
 
Prof. Otto Soemarwoto dalam Sutisna (2006), mengajukan enam tolok ukur pembangunan berkelanjutan secara sederhana yang dapat digunakan baik untuk pemerintah pusat maupun di daerah untuk menilai keberhasilan seorang Kepala Pemerintahan dalam pelaksanaan proses pembangunan berkelanjutan. Keenam tolok ukur itu meliputi:
  • pro lingkungan hidup;
  • pro rakyat miskin;
  • pro kesetaraan jender;
  • pro penciptaan lapangan kerja;
  • pro dengan bentuk negara kesatuan RI dan
  • harus anti korupsi, kolusi serta nepotisme. Berikut ini penjelasan umum dari masing-masing tolok ukur.
 
Tolok ukur pro lingkungan hidup (pro-environment) dapat diukur dengan berbagai indikator. Salah satunya adalah indeks kesesuaian,seperti misalnya nisbah luas hutan terhadap luas wilayah (semakin berkurang atau tidak), nisbah debit air sungai dalam musim hujan terhadap musim kemarau, kualitas udara, dan sebagainya. Berbagai bentuk pencemaran lingkungan dapat menjadi indikator yang mengukur keberpihakan pemerintah terhadap lingkungan. Terkait dengan tolok ukur pro lingkungan ini, Syahputra (2007) mengajukan beberapa hal yang dapat menjadi rambu-rambu dalam pengelolaan lingkungan yang dapat dijadikan indikator, yaitu:
  • Menempatkan suatu kegiatan dan proyek pembangunan pada lokasi secara benar menurut kaidah ekologi.
  • Pemanfaatan sumberdaya terbarukan (renewable resources) tidak boleh melebihi potensi lestarinyaserta upaya mencari pengganti bagi sumberdaya takterbarukan(non-renewable resources).
  • Pembuangan limbah industri maupun rumah tangga tidak boleh melebihi kapasitas asimilasi pencemaran.
  • Perubahan fungsi ekologis tidak boleh melebihi kapasitas daya dukung lingkungan (carrying capacity).
Tolok ukur pro rakyat miskin (pro-poor) bukan berarti anti orang kaya. Yang dimaksud pro rakyat miskin dalam hal ini memberikan perhatian pada rakyat miskin yang memerlukan perhatian khusus karena tak terurus pendidikannya, berpenghasilan rendah, tingkat kesehatannya juga rendah serta tidak memiliki modal usaha sehingga daya saingnya juga rendah. Pro rakyat miskin dapat diukur dengan indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau HumanDevelopment Index (HDI) dan Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) atau Human Poverty Index (HPI) yang dikembangkan PBB. Kedua indikator ini harus dilakukan bersamaan sehingga dapat dijadikan tolok ukur pembangunan yang menentukan. Nilai HDI dan HPI yang meningkat akan dapat menunjukkan pembangunan yang pro pada rakyat miskin.
 
Tolok ukur pro kesetaraan jender/pro-perempuan (pro-women), dimaksudkan untuk lebih banyak membukakesempatan pada kaum perempuan untuk terlibat dalamarus utama pembangunan. Kesetaraan jender ini dapatdiukur dengan menggunakan Gender-related.Develotmenta.Index (GDI) dan Gender Empowerment Measure (GEM) untuk suatu daerah.Jika nilai GDI mendekati HDI, artinyadi daerah tersebut hanya sedikitterjadi disparitas jender dan kaumperempuan telah semakin terlibat dalam proses pembangunan.
 
 
Tolok ukur pro pada kesempatan hidup atau kesempatan kerja
(pro-livelihood opportunities) dapat diukur dengan menggunakan berbagai indikator seperti misalnya indikator demografi (angkatan kerja, jumlah penduduk yang bekerja, dan sebagainya), index gini, pendapatan perkapita, dan lain-lain. Indikator Kesejahteraan Masyarakat juga dapat menjadi salah satu hal dalam melihat dan menilai tolok ukur ini
 
 
Tolok ukur pro dengan bentuk negara kesatuan RI merupakan suatu keharusan, karena pembangunanberkelanjutan yang dimaksud adalah untuk bangsaIndonesia yang berada dalam kesatuan NKRI.
 
Tolok ukur anti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dapat dilihat dari berbagai kasus yang dapat diselesaikanserta berbagai hal lain yang terkait dengan gerakan anti KKNyang digaungkan di daerah bersangkutan.Buah pemikiran pakar lingkungan ini sejalan denganbuah pemikiran beberapa konseptor pembangunan berkelanjutan yang dirangkum oleh Gondokusumo (2005),dimana disebutkan syarat-syarat yang perlu dipenuhi untuktercapainya proses pembangunan berkelanjutan (Tabel1). Syarat-syarat tersebut secara umum terbagi dalam 3 indikator utama, yaitu:
  1. Pro Ekonomi Kesejahteraan, maksudnya adalah pertumbuhan ekonomi ditujukan untuk kesejahteraan semua anggota masyarakat, dapat dicapai melalui teknologi inovatif yang berdampak minimum terhadap lingkungan.
  2. Pro Lingkungan Berkelanjutan, maksudnya etika lingkungan non antroposentris yang menjadi pedoman hidup masyarakat, sehingga mereka selalu mengupayakan kelestarian dan keseimbangan lingkungan, konservasi sumberdaya alam vital, dan mengutamakan peningkatan kualitas hidup non material.
  3. Pro Keadilan Sosial, maksudnya adalah keadilan dan kesetaraan akses terhadap sumberdaya alam dan pelayanan publik, menghargai diversitas budaya dan
Budimanta (2005) menyatakan, untuk suatu proses pembangunan berkelanjutan, maka perlu diperhatikan hal hal sebagai berikut:
 
  1. Cara berpikir yang integratif. Dalam konteks ini, pembangunan haruslah melihat keterkaitan fungsional dari kompleksitas antara sistem alam, sistem sosial dan manusia di dalam merencanakan, mengorganisasikan maupun melaksanakan pembangunan tersebut.
  2. Pembangunan berkelanjutan harus dilihat dalam perspektif jangka panjang. Hingga saat ini yangbanyak mendominasi pemikiran para pengambilkeputusan dalam pembangunan adalah kerangkapikir jangka pendek, yang ingin cepat mendapatkanhasil dari proses pembangunan yang dilaksanakan.Kondisi ini sering kali membuat keputusan yangtidak memperhitungkan akibat dan implikasi padajangka panjang, seperti misalnya potensi kerusakanhutan yang telah mencapai 3,5 juta Ha/tahun, banjiryang semakin sering melanda dan dampaknya yangsemakin luas, krisis energi (karena saat ini kita telahmenjadi nett importir minyak tanpa pernah melakukanlangkah diversifi kasi yang maksimal ketika masih dalamkondisi surplus energi), moda transportasi yang tidakberkembang, kemiskinan yang sulit untuk diturunkan,dan seterusnya.
  3. Mempertimbangkan keanekaragaman hayati, untuk memastikan bahwa sumberdaya alam selalu tersedia secara berkelanjutan untuk masa kini dan masa mendatang. Yang tak kalah pentingnya adalah juga pengakuan dan perawatan keanekaragaman budaya yang akan mendorong perlakukan yang merata terhadap berbagai tradisi masyarakat sehingga dapat lebih dimengerti oleh masyarakat.
  4. Distribusi keadilan sosial ekonomi. Dalam konteks ini dapat dikatakan pembangunan berkelanjutan menjamin adanya pemerataan dan keadilan sosial yang ditandai dengan meratanya sumber daya lahan dan faktor produksi yang lain, lebih meratanya akses peran dan kesempatan kepada setiap warga masyarakat, serta lebih adilnya distribusi kesejahteraan melalui pemerataan ekonomi 
     
Peran Tata Ruang Dalam Pembangunan Kota Berkelanjutan
 
Terkait dengan pembangunan perkotaan, maka kota yang menganut paradigma pembangunan berkelanjutan dalam rencana tata ruangnya merupakan suatu kota yang nyaman bagi penghuninya, dimana akses ekonomi dan sosial budaya terbuka luas bagi setiap warganya untuk memenuhi kebutuhan dasar maupun kebutuhan interaksi sosial warganya serta kedekatan dengan lingkungannya. Menurut Budimanta (2005), bila kita membandingkan wajah kota Jakarta dengan beberapa kota di Asia maka akan terlihat kontras pembangunan yang dicapai. Singapura telah menjadi kota taman, Tokyo memiliki moda transportasi paling baik di dunia, serta Bangkok sudah berhasil menata diri menuju keseimbangan baru ke arah kota dengan menyediakan ruang yang lebih nyaman bagi warganya melalui perbaikan moda transportasinya. Perbedaan terjadi karena Jakarta menerapkan cara pandang pembangunan konvensional yang melihat pembangunan dalam konteks arsitektural, partikulatif dalam konteks lebih menekankan pada aspek fisik dan ekonomi semata. Sedangkan ketiga kota lainnya menerapkan cara pandang pembangunan berkelanjutan dalam berbagai variasinya, sehingga didapatkan kondisi ruang kota yang lebih nyaman sebagai ruang hidup manusia di dalamnya.
 
 
Menurut Budihardjo (2005), rencana tata ruang adalah suatu bentuk kebijakan publik yang dapat mempengaruhi keberlangsungan proses pembangunan berkelanjutan. Namun masih banyak masalah dan kendala dalam implementasinya dan menimbulkan berbagai konfl ik kepentingan. Konflik yang paling sering terjadi di Indonesia adalah konfl ik antar pelaku pembangunan yang terdiri dari pemerintah (public sector), pengusaha atau pengembang (private sector), profesional (expert), ilmuwan (perguruan tinggi), lembaga swadaya masyarakat, wakil masyarakat, dan segenap lapisan masyarakat. Konfl ik yang terjadi antara lain: antara sektor formal dan informal atau sektor modern dan tradisional di perkotaan terjadi konfl ik yang sangat tajam; proyek “urban renewal” sering diplesetkan sebagai “urban removal”; fasilitas publik seperti taman kota harus bersaing untuk tetap eksis dengan bangunan komersial yang akan dibangun; serta bangunan bersejarah yang semakin menghilang berganti dengan bangunan modern dan minimalis karena alasan ekonomi. Dalam kondisi seperti ini, maka kota bukanlah menjadi tempat yang nyaman bagi warganya. Kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan cenderung dikibarkan sebagai slogan yang terdengar sangat indah, namun kenyataan yang terjadi malah bertolak belakang. Terkait dengan berbagai konfl ik tersebut, maka beberapa usulan yang diajukan Budihardjo (2005) untuk meningkatkan kualitas perencanaan ruang, antara lain:
  1. Orientasi jangka panjang yang ideal perlu disenyawakan dengan pemecahan masalah jangkapendek yang bersifat inkremental, dengan wawasan pada pelaksanaan atau action oriented plan.
  2. Penegakan mekanisme development control lengkap dengan sanksi (disinsentif) bagi berbagai jenis pelanggaran dan insentif untuk ketaatan pada peraturan.
  3. Penataan ruang secara total, menyeluruh dan terpadu dengan model-model advocacy, participatory planning dan over-the-board planning atau perencanaan lintas sektoral, sudah saatnya dilakukan secara konsekuendan konsisten.
  4. Perlu peningkatan kepekaan sosio kultural dari para penentu kebijakan dan para professional (khususnya di bidang lingkungan binaan) melalui berbagai forum pertemuan/diskusi/ceramah/publikasi, baik secara formal maupun informal.
  5. Perlu adanya perhatian yang lebih terhadap kekayaan khasanah lingkungan alam dalam memanfaatkan sumber daya secara efektif dan efi sien.
  6. Keunikan setempat dan kearifan lokal perlu diserap sebagai landasan dalam merencanakan dan membangun kota, agar kaidah a city as a social workof art dapat terejawantahkan dalam wujud kota yang memiliki jati diri. Fenomena globalization withlocal fl avour harus dikembangkan untuk menangkal penyeragaman wajah kota dan tata ruang. Disamping enam usulan tersebut tentunya implementasi indikator-indikator pembangunan berkelanjutan yang berpijak pada keseimbangan pembangunan dalam sedikitnya 3 (tiga) pilar utama, yaitu ekonomi, lingkungan dan sosial harus menjadi dasar pertimbangan sejak awal disusunnya suatu produk rencana tata ruang kota/wilayah.
 sistem wilayah pembangunan

Ruang Lingkup:
a. Penataan Ruang Wilayah dan Sistem Spasial
b. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Pembangunan Daerah Pedesaan dan Perkotaan
c. Optimalisasi Perencanaan dan Pengelolaan Sumberdaya untuk Penciptaan Keunggulan Komparatif da Kompetitif
d. Sistem Kelembagaan dan Tenaga Ahli tentang Spasial Manajemen Pengembangan Wilayah

VISI :
Menjadi pusat pengkajian terkemuka di bidang ilmu-ilmu kewilayahan, perencanaan wilayah, pengembangan wilayah dan sistem informasi wilayah, dengan kompetensi utama sistem-sistem wilayah tropika kepulau, negara-negara berkembanga, pertaian dan perdesaan yang menjadi rujukan nasional maupun internasional

MISI :    Melaksanakan proses pengkajian dan pengembangan ilmu-ilmu kewilayahan
    Memfasilitasi dan mengembangkan proses akademik program-program pendidikan yang berkaitan dengan ilmu kewilyahan
    Menyebarluaskan produk-produk kajian kewilayahan dlam bentuk publikasi, seminar dan lokakarya secara berkala
    Mengembangkan pangkalan akumulasi data, informasi dan model-model hasil kajian kewilayahan dalam bentuk sistem informasi wilayah
    Mengembangkan jaringan kemitraan antar berbagai pihak yang berkepentingan dengan pengembangan ilmu dan kepakaran bidang kewilayahan, perencanaan wilayah, pengembagnan wilayah dan sistem informasi wilyah

Divisi
    Pengembangan Sumberdaya Manusia Perencana
    Ekonomi Wilayah, Tata Ruang dan Lingkungan Hidup
    Sistem Informasi Wilayah
    Perencanaan dan Pengembangan Masyarakat

 http://splashurl.com/okmd26t
http://splashurl.com/q9z6vrv