Siapakah Pribumi dan Non-pribumi
Dari KBBI, pribumi adalah penghuni asli,
orang yang berasal dari tempat yang bersangkutan. Sedangkan non-pribumi
berarti yang bukan pribumi atau penduduk yang bukan penduduk asli suatu
negara. Dari makna tersebut, pribumi berarti penduduk yang asli (lahir,
tumbuh, dan berkembang) berasal dari tempat negara tersebut berada.
Jadi, anak dari orang tua yang lahir dan berkembang di Indonesia adalah
orang pribumi, meskipun sang kakek-nenek adalah orang asing.
Namun pendapat yang beredar luas di
Indonesia mengenai istilah pribumi dan non-pribumi adalah pribumi
didefinisikan sebagai penduduk Indonesia yang berasal dari suku-suku
asli (mayoritas) di Indonesia. Sehingga, penduduk Indonesia keturunan
Tionghoa, India, ekspatriat asing (umumnya kulit putih), maupun campuran
sering dikelompokkan sebagai non-pribumi meski telah beberapa generasi
dilahirkan di Indonesia. Pendapat seperti itu karena sentimen masyarakat luas yang cenderung mengklasifikasikan penduduk Indonesia berdasarkan warna kulit mereka.
Selain warna kulit, sebagian besar masyarakat mendefinisikan sendiri (melalui informasi luar) berdasarkan budaya dan agama.
Sehingga jika penduduk Indonesia keturunan Tionghoa dianggap sebagai
non pribumi, maka penduduk Indonesia keturunan Arab (bukan dari suku
asli) dianggap sebagai pribumi.
“Embrio” Pribumi dan Non-pribumi
Golongan pribumi dan non-pribumi muncul sebagai akibat adanya perbedaan mendasar (diskriminasi) terutama dalam perlakuan yang berbeda oleh rezim yang sedang berkuasa.
Ini hanya terjadi jika rezim yang berkuasa adalah pemerintahan
otoriter, penjajah dan kroninya ataupun nasionalisme yang sempit.
Contoh, di zaman penjajahan Belanda, Belanda memperlakukan orang di
Indonesia secara berbeda didasari oleh etnik/keturunan. Mereka yang
berketurunan Belanda akan mendapat pelayanan kelas wahid, sedangkan
golongan pengusaha/pedagang mendapat kelas kedua, sedangkan masyarakat
umum (penduduk asli) diperlakukan sebagai kelas rendah (“kasta sudra”).
Setelah merdeka, para pejuang kemerdekaan
kita (Bung Karno, Hatta, Syahrir, dll) berusaha menghapuskan
diskriminasi tersebut. Para founding father Bangsa Indonesia menyadari
bahwa selama adanya diskriminasi antar golongan rakyat, maka persatuan
negara ini menjadi rentan, mudah diobok-obok oleh kepentingan
neo-imperialisme. Bung Karno telah meneliti hal tersebut melalui tulisan beliau di majalah “Suluh Indonesia”
yang diterbitkan tahun 1926. Ia berpendapat bahwa untuk memperjuangkan
kemerdekaan bangsa dan membangun bangsa yang kuat dibutuhkan semua
elemen/golongan Untuk itu beliau mengajukan untuk menyatukan kekuatan
dari golongan Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme sebagai kekuatan superpower.
Hal inilah yang ditakuti oleh Amerika dan sekutunya serta para
pemberontak (penghianat, separatis) di negeri ini dengan berbagai alibi.
Setelah pemerintahan Bung Karno direbut oleh kekuatan liberalis-kapitalis melalui Jenderal yang berkuasa dengan tangan besi, Pak Harto, maka konotasi pribumi dan non-pribumi kembali “terpelihara subur”.
Agenda pembangunan makro yang direntenir oleh IMF dan Bank Dunia
membutuhkan golongan istimewa (haruslah minoritas) serta mengabaikan
golongan mayoritas. Maka perjalanan bangsa setelahnya menjadi pincang
yang luar biasa. Segelintir golongan memperkaya diri yang luar biasa,
sedangkan golongan terbesar harus bekerja keras dengan kesejahteraan
pas-pasan. Indonesia yang kaya raya dengan sumber daya alam baik di
darat maupun laut hanyalah dirasakan oleh golongan penguasan dan
“peliharaan” penguasa. Rakyat jelata hanya menerima ampas kekayaan alam
Indonesia. Semua sari kekayaan di”sedot’ oleh perusahaan asing dan
segelintir penghianat bangsa.
Inilah mengapa, diera orde baru, konflik
horizontal antara penduduk miskin (disebut dan dilabeli sebagai
pribumi) dengan si kaya (umumnya dilabeli sebagai non pribumi)
berkembang dan namun erpendam. Kebencian diskriminasi ini akhirnya pecah
di tahun 1998. Namun sangat disayangkan, hanya
segelintir kelompok si kaya – “non-pribumi” yang kena getahnya. Massa
kepalang berpikiran semua orang keturunan adalah non-pribumi, sehingga
gerakan mereka ibarat “menembak burung di angkasa raya, namun sapi di sawah yang mati”. Burung (penguasa, penghianat, si-kaya)
masih beterbangan di angkasa Indonesia, Singapura, dan Amerika. Hingga
saat ini, pemerintah hanya dapat menonton “burung-burung” tersebut
beterbangan bebas……Yang tewas adalah rakyat miskin dan jelata.
Pribumi dan Non-pribumi Vs Patriot dan Penghianat
Sebagai warga negara Indonesia, kita
memiliki hak dan kewajiban membangun bangsa ini. Kita wajib menyadarkan
sesama kita – bangsa kita bahwa tantangan terbesar yang sedang kita hadapi bukanlah etnis, suku,warna kulit ataupun agama. Bukan juga perbedaan pribumi dan non-pribumi. Tapi hal yang terbesar adalah ketidakadilan,
pemiskinan, lunturnya nasionalisme membangun bangsa, dan ancaman
hegomoni asing dalam bentuk ekonomi, politik, pertahanan dan multi
nasional company. Perjuangan kita adalah untuk mewujudkan
sistem pemerintah yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Karena istilah pribumi dan non-pribumi diciptakan oleh penjajah dan penguasa yang kejam, sudah saatnya kita harus meninggalkan istilah tersebut. Kekuatan rakyat harus menciptakan sendiri istilah yang baru, yakni “patriot” dan “penghianat”.
Seorang patriot adalah yang memperjuangkan negara dan tanah airnya demi
kesejahteraan dan kemandirian bangsa. Untuk itu kita dukung perjuangan
para patriot tersebut saat ini. Sedangkan golongan kedua adalah
penghianat, mereka yang merusak bangsa kita demi kepentingan pribadi
ataupun golongan dengan menghancurkan kepentingan bangsa dan negara.
Mereka yang mengobral aset bangsa, kebijakan pro-konglomerasi, dan
memakan uang rakyat serta membangun dinasti keluarga di pemerintahan,
legislatif maupun penegak hukum. Kita perlu memata-matai tindak tanduk
mereka, dan memperjuangkan hukum untuk mengadili para penghianat
tersebut.
Tentunya gerakan reformasi rakyat untuk
melawan penghianat dan penjajah baru ini bukanlah dengan revolusi
berdarah, tapi dapat dilakukan dengan reformasi rakyat terutama dari
pemimpin pemerintah, penegak hukum, serta mereformasi badan legislatif
yang masih lemah. Dan tidak kalah penting adalah sistem edukasi di
lembaga pendidikan. Untuk itu, diharapkan para tokoh bangsa turut
mengawasi para penguasa di negeri ini, serta edukasi masyarakat untuk
memilih pemimpin yang patriot, bukan pemimpin sekadar populer.
Berakhirnya Diskriminasi Secara Konstitusi
Setelah era reformasi, beberapa tokoh
bangsa Indonesia berusaha mengangkat kembali kekuatan persatuan dengan
menghilangkan diskriminasi perusak bangsa. Reformasi birokrasi yang
menghasilkan sedikit perubahan dalam mengurangi praktik pemerintahan KKN yang sarat dengan bau kekeluargaan, etnis, dan agama.
Maka disusunlah UU Kewarganegaran serta menghilangkan secara hukum
diskriminasi bagi etnis Tionghoa dan etnis minoritas di era Gusdur.
Setelah berlakunya UU 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia,
maka setiap manusia yang lahir di Indonesia dianggap warga negara
Indonesia tanpa ada memandang embel-embel pribumi atau non-pribumi yang
melekat karena perbedaan latar belakang etnis. Yang diberlakukan saat
ini adalah warga negara.
Ada beberapa kriteria Warga Negara Indonesia (WNI) dalam UU 12 tahun 2006 (diambil sebagian) adalah:
- Seorang yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah WNI dan Ibu WNI, ayah WNI dan ibu WNA, atau ayah WNA dan ibu WNI.
- anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya
- Orang asing yang telah berjasa kepada negara Republik Indonesia atau dengan alasan kepentingan negara (diberikan oleh Presiden dan pertimbangan DPR RI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar