Bank of China Tower (disingkat BoC Tower; Hanzi tradisional: 中銀大廈) adalah salah satu gedung pencakar langit yang terkenal di Central, Hong Kong. Gedung ini adalah markas dari Bank of China di Hong Kong.
Gedung ini di desain oleh I. M. Pei, gedung ini memiliki tinggi 305 m (1,000.7 kaki) dengan dua tiang setinggi 3.674 m (12,053.8 kaki). Gedung ini adalah gedung tertinggi di Hong Kong dan Asia sejak tahun 1989 sampai tahun 1992, dan juga merupakan gedung pertama di luar Amerika Serikat yang memiliki tinggi 305 m (1,000 ft). Saat ini Menara Bank of China adalah gedung tertinggi ketiga di Hong Kong, setelah Two International Finance Centre dan Central Plaza.
YUBABA
Kamis, 10 April 2014
(Bangunan Hongkong III) Central Plaza Hong Kong
Central Plaza (Cina Tradisional: 中環廣場) yang terletak di Wan Chai merupakan pencakar langit kedua tertinggi di Hong Kong. Dengan ketinggian 374m (1227 kaki), ia cuma dikalahkan oleh 2 IFC (415 m) di Central.
Sebelum ini,Central Plaza juga adalah menara konkrit tertinggi di dunia sebelum gelaran itu diambil CITIC Plaza, Guangzhou.Menara ini juga menempatkan gereja tertinggi di dunia,Hong Kong City Church.
Bangunan ini terdiri daripada 78 tingkat kesemuanya. Ia siap dibina pada tahun 1992, dan menjadi bangunan tertinggi di Asia sehinggalah Shun Hing Square di Shenzhen, Republik Rakyat China dibina pada 1996.
Sebelum ini,Central Plaza juga adalah menara konkrit tertinggi di dunia sebelum gelaran itu diambil CITIC Plaza, Guangzhou.Menara ini juga menempatkan gereja tertinggi di dunia,Hong Kong City Church.
Bangunan ini terdiri daripada 78 tingkat kesemuanya. Ia siap dibina pada tahun 1992, dan menjadi bangunan tertinggi di Asia sehinggalah Shun Hing Square di Shenzhen, Republik Rakyat China dibina pada 1996.
(Bangunan Hongkong II) International Finance Centre
International Finance Centre (IFC, dicap sebagai "ifc") merupakan perkembangan komersial terpadu di tepi pantai di Distrik Tengah, Hong Kong.
Sebuah tengara terkemuka di Hong Kong, IFC terdiri dari dua gedung pencakar langit, IFC Mall, dan Four Seasons Hotel Hong Kong. Gedung kedua IFC adalah gedung tertinggi kedua di Hong Kong, di belakang International Commerce Centre di Kowloon Barat. Two IFC merupakan gedung tertinggi keempat di wilayah Tiongkok Daratan dan gedung perkantoran tertinggi kedelapan di dunia, berdasarkan ketinggian struktural. Stasuin Hong Kong di Airport Express langsung di bawahnya.
IFC dibangun dan dimiliki oleh IFC Development, sebuah konsorsium Sun Hung Kai Properties, Henderson Land dan Towngas.[3]
Pada tahun 2003, Financial Times, HSBC, dan Cathay Pacific memasang iklan pada fasad yang membentang lebih dari 50 lantai, seluas 19,000 m² (0.2 juta kaki persegi) dan panjang 230 m, sehingga iklan terbesar di dunia pernah memakai gedung pencakar langit.
Sebuah tengara terkemuka di Hong Kong, IFC terdiri dari dua gedung pencakar langit, IFC Mall, dan Four Seasons Hotel Hong Kong. Gedung kedua IFC adalah gedung tertinggi kedua di Hong Kong, di belakang International Commerce Centre di Kowloon Barat. Two IFC merupakan gedung tertinggi keempat di wilayah Tiongkok Daratan dan gedung perkantoran tertinggi kedelapan di dunia, berdasarkan ketinggian struktural. Stasuin Hong Kong di Airport Express langsung di bawahnya.
IFC dibangun dan dimiliki oleh IFC Development, sebuah konsorsium Sun Hung Kai Properties, Henderson Land dan Towngas.[3]
Pada tahun 2003, Financial Times, HSBC, dan Cathay Pacific memasang iklan pada fasad yang membentang lebih dari 50 lantai, seluas 19,000 m² (0.2 juta kaki persegi) dan panjang 230 m, sehingga iklan terbesar di dunia pernah memakai gedung pencakar langit.
(Bangunan Hongkong I) International Commerce Centre (ICC Tower)
International Commerce Centre (ICC Tower) 118 lantai, dengan ketinggian
484 m (1.588 kaki) pencakar langit ini selesai pada tahun 2010 di West
Kowloon, Hong Kong. Ini adalah bagian dari proyek Union Square dibangun
di atas Kowloon Station. Saat ini urutan kelima gedung tertinggi di
dunia, urutan ketiga bangunan tertinggi di dunia dengan lantai, serta
bangunan tertinggi di Hong Kong. Sebuah hotel bintang lima, The
Ritz-Carlton, Hong Kong menempati lantai 102-118.
Senin, 25 November 2013
VII. Environment Impact Analysis ( AMDAL )
Environment Impact Analysis ( AMDAL )
Prosedur penyusunan AMDAL
1.Mengidentifikasi dampak dari rencana usaha dan/atau kegiatan
2.Menguraikan rona lingkungan awal
3.Memprediksi dampak penting
4.Mengevaluasi dampak penting dan merumuskan arahan RKL/RPL.
Sebagai syarat keberhasilan implementasi AMDAL di daerah adalah:
http://splashurl.com/q732sku
Analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) pertama kali
dicetuskan berdasarkan atas ketentuan yang tercantum dalam pasal 16
Undang-undang No.4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Berdasarkan amanat pasal 16 tersebut diundangkan pada tanggal 5 Juni
1986 suatu Peraturan Pemerintah No.29 tahun 1986 tentang Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL).
Peraturan pemerintah (PP) No.29/ 1986 tersebut berlaku pada
tanggal 5 Juni 1987 yaitu selang satu tahun setelah di tetapkan. Hal tersbut
diperlukan karena masih perlu waktu untuk menyusun kriteria dampak terhadap
lingkungan sosial mengingat definisi lingkungan yang menganut paham holistik
yaitu tidak saja mengenai lingkungan fisik/kimia saja namun meliputi pula
lingkungan sosial.
Berdasarkan pengalaman penerapan PP No.29/1986 tersebut
dalam deregulasi dan untuk mencapai efisiensi maka PP No.29/1986 diganti dengan
PP No.51/1993 yang di undangkan pada tanggal 23 Oktober 1993. Perubahan
tersebut mengandung suatu cara untuk mempersingkat lamanya penyusunan AMDAL
dengan mengintrodusir penetapan usaha dan/ atau kegiatan yang wajib AMDAL
dengan keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup dengan demikian tidak
diperlukan lagi pembuatan Penyajian Informasi Lingkungan (PIL).
Perubahan tersebut mengandung pula keharusan pembuatan ANDAL,
RKL, dan RPL di buat sekaligus yang berarti waktu pembuatan dokumen dapat
diperpendek. Dalam perubahan tersebut di introdusir pula pembuatan dokumen
Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) bagi
kegiatan yang tidak wajib AMDAL. Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya
Pemantauan Lingkungan (UKL) ditetapkan oleh Menteri Sektoral yang berdasarkan
format yang di tentukan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup. Demikian pula
wewenang menyusun AMDAL disederhanakan dan dihapuskannya dewan kualifikasi dan
ujian negara. Kemudian juga dampak lingkungan terdapat juga inti – inti nya
yaitu sebagai berikut dan terdapat pengertian – pengertian yang saya ketahui :
1. Definisi AMDAL
AMDAL
adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/ atau kegiatan
yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan
keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/ atau kegiatan.
2.
Dasar hukum AMDAL
Sebagai
dasar hukum AMDAL adalah PP No.27/ 1999 yang di dukung oleh paket keputusan
menteri lingkungan hidup tentang jenis usaha dan/ atau kegiatan yang wajib
dilengkapi dengan AMDAL dan keputusan kepala BAPEDAL tentang pedoman penentuan
dampak besar dan penting.
3. Tujuan dan sasaran AMDAL
Tujuan
dan sasaran AMDAL adalah untuk menjamin suatu usaha atau kegiatan pembangunan
dapat berjalan secara berkesinambungan tanpa merusak lingkungan hidup.Dengan
melalui studi AMDAL diharapkan usah dan / atau kegiatan pembangunan dapat
memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam secara efisien, meminimumkan dampak
negatip dan memaksimalkan dampak positip terhadap lingkungan hidup.
4.
Tanggung jawab pelaksanaan AMDAL
Secara
umum yang bertanggung jawab terhadap koordinasi proses pelaksanaan AMDAL adalah
BAPEDAL (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan).
5. Kegunaan Setudi Amdal
·
Bagi
Pemerintah :
Membantu
pemerintah dalam proses pengambilan keputusan, perencanaan dan pengelolaan lingkungan dalam hal
pengendalian dampak negatif dan mengembangkan dampak positif yang meliputi
aspek biofisik, sosial ekonomi, budaya dan kesehatan masyarakat. Mengintegrasikan
pertimbangan lingkungan dalam tahap perencanaan rinci pada suatu kegiatan
Pembangunan.Sebagai pedoman dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan pada
suatu kegiatan Pembangunan.
·
Bagi
Pemrakarsa :
Mengetahui
permasalahan lingkungan yang mungkin timbul di masa yang akan dating dan
cara-cara pencegahan serta penanggulangan sebagai akibat adanya kegiatan
suatupembangunan. Sebagai pedoman untuk melakukan pengelolaan dan pemantauan
lingkunganSebagai bahan penguji secara komprehensif dari kegiatan pengelolaan
dan pemantauan lingkungan untuk kemudian mengetahui kekurangannya.
·
Bagi
Masyarakat :
Mengurangi
kekuatiran tentang perubahan yang akan terjadi atas rencana kegiatan suatu
pembangunan.Memberikan informasi mengenai kegiatan Pembangunan Industri ,
sehingga dapat mempersiapkan dan menyesuaikan diri agar dapat terlibat dalam
kegiatan tersebut.Memberi informasi tentang perubahan yang akan terjadi,
sehingga masyarakat dapat memanfaatkan dampak positif dan menghindarkan dampak
negatif.Sebagai bahan pertimbangan untuk berpartisipasi dalam kegiatan
pengelolaan lingkungan.
6. Dasar pelaksanaan
Pada
pelaksanaan studi AMDAL terdapat
beberapa komponen dan parameter lingkungan yang harus dijadikan sebagai sasaran
studi, antara lain :
1.
Komponen Geo-Fisik-Kimia antra lain :
Iklim dan Kualitas Udara, Fisiografi, Geologi Ruang, Lahan dan Tanah, Kualitas
Air Permukaan,
2.
Komponen Biotis antara lain : Flora,
Fauna, Biota Sungai, Biota Air Laut
3.
Komponen Sosial Ekonomi dan Budaya
antara lain : Sosial Ekonomi , Sosial Budaya
4.
Komponen Kesehatan Masyarakat antara
lain Sanitasi Lingkungan dan Kesehatan Masyarakat.
7. Perundang-Undangan dan Peraturan
perundang-undangan
yang terkait dengan pelaksanaan Studi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(AMDAL) antara lain :
1.
Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1960
Tentang Pokok -pokok Agraria.
2.
Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1990
Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistem (Lembaran Negara RI
Tahun 1990 No. 49 Tahun 1990 Tambahan Lembaran Negara No 3419).
3.
Undang-Undang RI No. 4 Tahun 1992
Tentang Perumahan dan Permukiman
4.
Undang-Undang RI No. 14 Tahun 1992
Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
5.
Undang-Undang RI No. 24 Tahun 1992
Tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 No. 115,
Tambahan Lembaran Negara No 3501).
6.
Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1994
Tentang Pengesahan United Nations Conventation On Biological Diversity
(Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati
7.
Undang-Undang RI No 23 Tahun 1997
Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Republik Indonesia Tahun 1997
No. 68 Tambahan Lembaran Negara No. 3699).
8.
Undang-Undang RI No 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintah Daerah
9.
Undang-Undang RI No. 41 Tahun 1999
Tentang Kehutanan.
Peraturan
yang terkait dengan pelaksanaan Studi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(AMDAL) antara lain :
1.
Peraturan Pemerintah RI No. 22 Tahun
1982 Tentang Tata Pengaturan Air.
2.
Peraturan Pemerintah RI No. 28 Tahun
1985 Tentang Perlindungan Hutan.
3.
Peraturan Pemerintah RI No 35 Tahun 1991
Tentang Sungai.
4.
Peraturan Pemerintah RI No.69 Tahun 1996
Tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, serta Bentuk dan Tata Cara Peran serta
Masyarakat dalam Penataan Ruang.
5.
Peraturan Pemerintah RI No. 24 Tahun
1997 Tentang Pendaftaran Tanah untuk Penggantian.
6.
Peraturan Pemerintah RI No. 27 Tahun
1999 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 No. 59 Tambahan Lembaran Negara No.3838).
7.
Peraturan Pemerintah RI No. 41 Tahun
1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara.
8.
Peraturan Pemerintah RI No. 20 Tahun
2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan Pembangunan
9.
Peraturan Pemerintah RI No. 82 Tahun
2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Beberapa
keputusan pemerintah yang terkait dengan pelaksanaan Studi Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL) antara lain :
1.
Keputusan Presiden RI No 32 Tahun 1990
Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.
2.
Keputusan Presiden RI No 75 Tahun 1990
Tentang Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional.
3.
Keputusan Presiden RI No. 552 Tahun 1993
Tentang Pengadaan Tanah Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
4.
Keputusan Menteri Negara Kependudukan
dan Lingkungan Hidup No. 02/MENKLH/1988 tentang Pendoman Penetapan Baku Mutu
Lingkungan
5.
Keputusan Menteri PU.No 45/PRT/1990
tentang Pengendalian Mutu Air pada Sumber-sumber Air.
6.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup No. KEP-30/MENLH /7/1992 tentang Panduan Pelingkupan untuk Penyusunan
Kerangka Acuan ANDAL.
7.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup No. 056/1994 tentang Pedoman Mengenai Ukuran Dampak Penting.
8.
Keputusan Menteri Pertambangan dan
Energi No. 103.K/008/M.PE/1994 tentang Pengawasan atas Pelaksanaan Rencana
Pengelolaan Lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkungan dalam Bidang
Pertambangan dan Energi.
9.
Keputusan Menteri PU. No 58/KPTS/1995
Petunjuk Tata Laksana AMDAL Bidang Pekerjaan Umum.
10.
Keputusan Menteri PU.No. 148/KPTS/1995
tentang Petunjuk Teknis Penyusunan RKL dan RPL, Proyek Bidang Pekerjaan Umum.
11.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup No. KEP-13/MENLH /3/1995 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak.
12.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup No. KEP-43/MENLH/ 10/1996 tentang Kriteria Kerusakan Lingkungan Bagi
Usaha atau Kegiatan Penambangan Bahan Galian Golongan C Jenis Lepas di Daratan.
13.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup No. KEP-48/MENLH/ 11/1996 tentang Baku Mutu Tingkat Kebisingan.
14.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup No. KEP-49/MENLH/ 11/1996 tentang Baku Tingkat Getaran.
15.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup No. KEP-50/MENLH /11/1996 tentang Baku Tingkat Kebauan.
16.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup No. KEP-45/MENLH/10/1997 tentang Indeks Standar Pencemar Udara.
17.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup No. KEP-03/MENLH /1/1998 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kawasan
Industri.
18.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup No. 17 tahun 2001 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang
Wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.
19.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup No. 37 Tahun 2003 tentang Metoda Analisis Kualitas Air Permukaan dan
Pengambilan Contoh Air Permukaan.
20.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup No. 110 Tahun 2003 tentang Pedoman Penetapan Daya Tampung Beban
Pencemaran Air pada Sumber Air.
21.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup No. 112 Tahun 2003 tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik.
22.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup No. 142 Tahun 2003 tentang Pedoman Mengenai Syarat dan Tata Cara
Perizinan serta Pedoman Kajian Pembuangan Air Limbah ke Air atau Sumber Air.
23.
Keputusan Kepala Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan No. KEP-205/BAPEDAL/07/1996 tentang Pedoman Teknis
Pengendalian Pencemaran Udara Sumber Tidak Bergerak.
24.
Keputusan Kepala Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan No. KEP-299/11/1996 tentang Pedoman Teknis Kajian Aspek
Sosial dalam Penyusunan AMDAL.
25.
Keputusan Kepala Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan No. KEP-105 tahun 1997 tentang Panduan Pemantauan Pelaksanaan
Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL).
26.
Keputusan Kepala Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan No. 107/BAPEDAL/2/1997 tentang Perhitungan dan Pelaporan
serta Informasi Indeks Standar Pencemar Udara.
27.
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan No. KEP-124/12/1997 tentang Panduan Kajian Aspek Kesehatan
Masyarakat dalam Penyusunan AMDAL.
28.
Keputusan Kepala Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan No. 08 tahun 2000 tentang Keterlibatan Masyarakat dan
Keterbukaan Informasi dalam Proses AMDAL.
29.
Keputusan Kepala Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan No. 09 tahun 2000 tentang Pedoman Penyusunan AMDAL.
30.
Peraturan Daerah terkait yang relevan
lainnya dengan studi ini.
8.
Mulainya
studi AMDAL
AMDAL merupakan bagian dari studi
kelayakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan. Sesuai dengan PP No./ 1999
maka AMDAL merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan ijin
melakukan usaha dan / atau kegiatan .
AMDAL Dan Perijinan
Agar supaya pelaksanaan AMDAL
berjalan efektif dan dapat mencapai sasaran yang diharapkan , pengawasannya
dikaitkan dengan mekanisme perijinan rencana usaha atau kegiatan. Berdasarkan
PP no.27/ 1999 suatu ijin untuk melakukan usaha dan/ atau kegiatan baru akan
diberikan bila hasil dari studi AMDAL menyatakan bahwa rencana usaha dan/ atau
kegiatan tersebut layak lingkungan. Ketentuan dalam RKL/ RPL menjadi bagian
dari ketentuan ijin.
Pasal 22 PP/ 1999 mengatur bahwa
instansi yan bertanggung jawab (Bapedal atau Gubernur) memberikan keputusan
tidak layak lingkungan apabila hasil penilaian Komisi menyimpulkan tidak layak
lingkungan.Keputusan tidak layak lingkungan harus diikuti oleh instansi yang
berwenang menerbitkan ijin usaha.Apabila pejabat yang berwenang menerbitkan
ijin usaha tidak mengikuti keputusan layak lingkungan, maka pejabat yang
berwenang tersebut dapat menjadi obyek gugatan tata usaha negara di PTUN. Sudah
saatnya sistem hukum kita memberikan ancaman sanksi tidak hanya kepada
masyarakat umum , tetapi harus berlaku pula bagi pejabat yang tidak
melaksanakan perintah Undang-undang seperti sanksi disiplin ataupun sanksi
pidana.
Prosedur penyusunan AMDAL
Secara garis besar proses AMDAL
mencakup langkah-langkah sebagai berikut:
1.Mengidentifikasi dampak dari rencana usaha dan/atau kegiatan
2.Menguraikan rona lingkungan awal
3.Memprediksi dampak penting
4.Mengevaluasi dampak penting dan merumuskan arahan RKL/RPL.
Dokumen
AMDAL terdiri dari 4 (empat) rangkaian dokumen yang dilaksanakan secara
berurutan , yaitu:
1.Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan (KA-ANDAL)
2.Dokumen Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL)
3.Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL)
4.Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL)
1.Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan (KA-ANDAL)
2.Dokumen Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL)
3.Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL)
4.Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL)
Pendekatan Studi AMDAL
Dalam
rangka untuk mencapai efisiensi dan efektivitas pelaksanaan AMDAL, penyusunan
AMDAL bagi rencana usaha dan/atau kegiatan dapat dilakukan melalui pendekatan
studi AMDAL sebagai berikut:
1.Pendekatan studi AMDAL Kegiatan Tunggal
2.Pendekatan studi AMDAL Kegiatan Terpadu
3.Pendekatan studi AMDAL Kegiatan Dalam Kawasan
1.Pendekatan studi AMDAL Kegiatan Tunggal
2.Pendekatan studi AMDAL Kegiatan Terpadu
3.Pendekatan studi AMDAL Kegiatan Dalam Kawasan
Dokumen
AMDAL terdiri dari 4 (empat) rangkaian dokumen yang dilaksanakan secara
berurutan, yaitu:
1.Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan (KA-ANDAL)
2.Dokumen Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL)
3.Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL)
4.Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL)
1.Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan (KA-ANDAL)
2.Dokumen Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL)
3.Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL)
4.Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL)
PERBEDAAN PP NO.29 Tahun 1986, PP
NO.51 Tahun 1993 dan PP NO.27 Tahun 1999
Di Indonesia, AMDAL merupakan
singkatan dari kalimat “Analisis Mengenai Dampak Lingkungan”. AMDAL adalah:
Kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang
direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan
keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Ketentuan di atas
mengacu pada peraturan pemerintah PP. No. 27 Tahun 1999 Pasal 1 butir 1.
Peraturan ini masih berlaku di
seluruh wilayah Indonesia. Selain mengacu pada peraturan tersebut di atas, maka
landasan peraturan pemerintah tersebut di atas mengacu pada undang-undang yaitu
UU RI No. 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup. Jadi sudah jelas
acuan peraturan dan perundangannya, jadi sebagai bangsa dan masyarakat
Indonesia kita wajib melaksanakannya sebagai perwujudan berbangsa dan
bermasyarakat yang baik. Terdapat berbagai macam perbedaan pada tiap-tiap
peraturan pemerintah di setiap butir-butir peraraturan.
Peraturan
Pemerintah Nomor 29 Tahun 1986 yang semula dipakai sebagai landasan penyusunan
dokumen Amdal dicabut dan digantikan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun
1993. Meski banyak koreksi yang dilakukan terhadap Peraturan Pemerintah Nomor
29 Tahun 1986, tetapi hakekat Amdal itu sendiri tidak berubah yaitu sebagai
salah satu sarana penjamin pelaksanaan pembangunan yang berwawasan lingkungan.
Diterbitkannya Undang-Undang No. 23. 1997, maka PP.51.1993 perlu penyesuaian,
sehingga pada tanggal 7 Mei 1999, Pemerintah RI menerbitkan PP. No. 27 Tahun
1999 sebagai penyempurnaan PP. 51. 1993.
Efektif berlakunya PP. No. 27 Tahun 1999 mulai 7 November
2000 dan satu hal penting yang diatur dalam PP No. 27 Tahun 1999 ini adalah
pelimpahan hampir semua kewenangan penilaian AMDAL kepada daerah. Selain itu,
pada tiap periode pemerintahan disinyalir terdapat suatu keharusan untuk
membuat /menyelenggarakan suatu peraturan-peraturan baru yang merupakan salah
satu pertanda bahwa pada pemerintahan periode tersebut mereka benar – benar
bekerja dan perubahan peraturan pemerintah dianggap menjadi salah satu cara
untuk mempertanggung jawabkan kinerja mereka pada periode tersebut.
Perbedaan-perbedaan tersebut dapat dilihat dari perbedaan
jumlah pasal pada tiap peraturan amdal yang sudah terbentuk, pada PP nomer 29
tahun 1986 terdapat 40 pasal, PP nomer 51 1993 29 pasal, PP nomer 27 1999 42
pasal. Perbedaan jumlah pasal ini dikarenakan terjadi penemuan/ pemikiran baru
tentang amdal dan disesuaikan dengan peraturan terdahulu. Dalam PP No.51 tahun
1993 merupakan hasil peraturan yang didasari dari penyempurnaan PP No 29 tahun
1986.
Pemerintah mencabut PP No. 29 Tahun 1986 dan menggantikannya
dengan PP No. 51 Tahun 1993 tentang AMDAL dalam rangka efektivitas dan
efisiensi pelaksanaan AMDAL.Karena pelaksanaan PP No. 29 Tahun 1986 mengalami
beberapa hambatan yang bersifat birokratis maupun metodologis.
Sedangkan perubahan PP No. 51 tahun 1993 lebih didasari oleh
penyesuaian pemerintah terhadap undang-undang No.23 tahun 1997. Perbedaan lain
yang ditemukan adalah pada PP No.29 tahun 1986 tidak diketemukan tentang
penapisan berkala yang digunakan sebagai kegiatan pantauan pada kegiatan /
jenis usaha.
Sedangkan pada PP No 51 tahun 1999 penapisan berkala ini
dilakukan disertai dengan instansi pemerintah ataupun nonpemerintah yang
memberikan ataupun melakukan kegiatan penapisan tersebut. Dalam PP No. 27Tahun
1999 Pasal 2 Ayat 3 dinyatakan terdapat tiga jenis pendekatan yaitu pendekatan
studiterhadap usaha dan/atau kegiatan tunggal (AMDAL Proyek Tunggal), terpadu
(AMDALTerpadu) atau kegiatan dalam kawasan (AMDAL Kawasan).
Sedangkan dalam PP No. 51 Tahun 1993 dijelaskan ada 4 jenis
pendekatan studi AMDALyang meliputi AMDAL Proyek Tunggal, AMDAL Kegiatan
Terpadu, AMDAL Kawasan danAMDAL Regional. Penjelasan ketiga jenis Amdal yang
pertama hampir sama denganpenjelasan pada PP No. 27 Tahun 1999, perbedaannya
yaitu pada PP No. 27 Tahun 1999 katadampak penting telah disempurnakan menjadi
dampak besar dan penting. Sedangkan pada PP No. 29 tahun 1986 tidak dijumpai/
ditemukan pendekatan studi Amdal oleh penulis.
AMDAL DAN EKONOMI KERAKYATAN
Dengan dilaksanakannya AMDAL yang sesuai dengan aturan, maka
akan didapatkan hasil yang optimal dan akan berpengaruh terhadap kebangkitan
ekonomi. Kenapa demikian? Dalam masa otonomi daerah diharapkan pemerintah
daerah menganut paradigma baru, antara lain:
1. Sumber daya yang ada di daerah merupakan bagian dari sistem penyangga kehidupan masyarakat, seterusnya masyarakat merupakan sumber daya pembangunan bagi daerah.
2. Kesejahteraan masyarakat merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dari kelestarian sumber daya yang ada di daerah.
1. Sumber daya yang ada di daerah merupakan bagian dari sistem penyangga kehidupan masyarakat, seterusnya masyarakat merupakan sumber daya pembangunan bagi daerah.
2. Kesejahteraan masyarakat merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dari kelestarian sumber daya yang ada di daerah.
Dengan
demikian maka dalam rangka otonomi daerah, fungsi dan tugas pemerintah daerah
seyogyanya berpegang pada hal-hal tersebut dibawah ini:
1.
Pemda menerima de-sentralisasi kewenangan dan kewajiban
2. Pemda meningkatkan pelayanan kepada masyarakat
3. Pemda melaksanakan program ekonomi kerakyatan
4. Pemda menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya di daerah secara konsisten.
5. Pemda memberikan jaminan kepastian usaha
6. Pemda menetapkan sumberdaya di daerah sebagai sumberdaya kehidupan dan bukan sumberdaya pendapatan
2. Pemda meningkatkan pelayanan kepada masyarakat
3. Pemda melaksanakan program ekonomi kerakyatan
4. Pemda menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya di daerah secara konsisten.
5. Pemda memberikan jaminan kepastian usaha
6. Pemda menetapkan sumberdaya di daerah sebagai sumberdaya kehidupan dan bukan sumberdaya pendapatan
KEBERHASILAN IMPLEMENTASI AMDAL DI
DAERAH
Sebagai syarat keberhasilan implementasi AMDAL di daerah adalah:
1. Melaksanakan peraturan/ perundang-undangan
yang ada.
Sebelum pembuatan dokumen AMDAL pemrakarsa harus
melaksanakan Keputusan Kepala Bapedal 8 tahun/ 2000 tentang Keterlibatan
Masyarakat dan Keterbukaan Informasi dalam Proses AMDAL yaitu harus
melaksanakan konsultasi masyarakat sebelum pembuatan KA. Apabila konsultasi
masyarakat berjalan dengan baik dan lancar, maka pelaksanaan AMDAL serta
implementasi RKL dan RPL akan berjalan dengan baik dan lancar pula.
Hal tersebut akan berimbas pada kondisi lingkungan baik
lingkungan fisik/ kimia, sosial-ekonomi-budaya yang kondusif sehingga
masyarakat terbebas dari dampak negatip dari kegiatan dan masyarakat akan sehat
serta perekonomian akan bangkit.
2.
Implementasi
AMDAL secara profesional, transparan dan terpadu.
Apabila implementasi memang demikian
maka implementasi RKL dan RKL akan baik pula. Implementai AMDAL, RKL dan RPL
yang optimal akan meminimalkan dampak negatip dari kegiatan yang ada. Dengan
demikian akan meningkatkan status kesehatan, penghasilan masyarakat meningkat
dan masyarakat akan sejahtera.
Selain itu pihak industri dan/atau
kegiatan dan pihak pemrakarsa akan mendapatkan keuntungan yaitu terbebas dari
tuntutan hokum ( karena tidak mencemari lingkungan ) dan terbebas pula dari
tuntutan masyarakat ( karena masyarakat merasa tidak dirugikan ). Hal tersebut
akan lebih mudah untuk melakukan pendekatan sosial-ekonomi-budaya dengan
masyarakat di sekitar pabrik/ industri/ kegiatan berlangsung.
VI. Perencanaan fisik pembangunan
PERENCANAAN FISIK PEMBANGUNAN
Skema Proses Perencanaan Pembangunan
Pembangunan berkelanjutan adalah terjemahan dari Bahasa Inggris, sustainable development. Istilah pembangunan berkelanjutan diperkenalkan dalam WorldConservation Strategy (Strategi Konservasi Dunia) yang diterbitkan oleh United Nations Environment Programme (UNEP), International Union for Conservation of Nature andNatural Resources (IUCN), dan World Wide Fund for Nature
(WWF) pada 1980. Pada 1982, UNEP menyelenggarakan sidang istimewa
memperingati 10 tahun gerakan lingkungan dunia (1972-1982) di Nairobi,
Kenya, sebagai reaksi ketidakpuasan atas penanganan lingkungan selama
ini. Dalam sidang istimewa tersebut disepakati pembentukan Komisi Dunia
untuk Lingkungan dan Pembangunan (WorldCommission on Environment and Development -
WCED). PBB memilih PM Norwegia Nyonya Harlem Brundtland dan mantan
Menlu Sudan Mansyur Khaled, masing-masing menjadi Ketua dan Wakil Ketua
WCED. Menurut Brundtland Report dari PBB (1987), pembangunan
berkelanjutan adalah proses pembangunan (lahan, kota, bisnis,
masyarakat, dsb) yang berprinsip “memenuhi kebutuhan sekarang tanpa
mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan”. Salah satu faktor
yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah
bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan
pembangunan ekonomi dan keadilan sosial.
Konsep Pembangunan Berkelanjutan ini kemudian dipopulerkan melalui laporan WCED berjudul “Our CommonFuture”
(Hari Depan Kita Bersama) yang diterbitkan pada 1987. Laporan ini
mendefi nisikan Pembangunan Berkelanjutan sebagai pembangunan yang
memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi
mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Di dalam konsep
tersebut terkandung dua gagasan penting.
Pertama,
gagasan kebutuhan, khususnya kebutuhan esensial kaum miskin sedunia
yang harus diberi prioritas utama. Kedua, gagasan keterbatasan, yang
bersumber pada kondisi teknologi dan organisasi sosial terhadap
kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebututuhan kini dan hari depan.
Jadi, tujuan pembangunan ekonomi dan sosial harus dituangkan dalam
gagasan keberlanjutan di semua negara, baik negara maju maupun negara
berkembang.
Budimanta
(2005) menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah suatu cara
pandang mengenai kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana
dalam kerangka peningkatan kesejahteraan, kualitas kehidupan dan
lingkungan umat manusia tanpa mengurangi akses dan kesempatan kepada
generasi yang akan dating untuk menikmati dan memanfaatkannya. Dalam
proses pembangunan berkelanjutan terdapat proses perubahan yang
terencana, yang didalamnya terdapat eksploitasi sumberdaya, arah
investasi orientasi pengembangan teknologi, dan perubahan kelembagaan
yang kesemuanya ini dalam keadaan yang selaras, serta meningkatkan
potensi masa kini dan masa depan untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi
masyarakat.
Pembangunan
berkelanjutan tidak saja berkonsentrasi pada isu-isu lingkungan. Lebih
luas dari itu, pembangunan berkelanjutan mencakup tiga lingkup
kebijakan: pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan perlindungan
lingkungan (selanjutnya disebut 3 Pilar Pembangunan berkelanjutan).
Dokumen-dokumen PBB, terutama dokumen hasil World Summit 2005
menyebut ketiga pilar tersebut saling terkait dan merupakan pilar
pendorong bagi pembangunan berkelanjutan. Idealnya, ketiga hal tersebut
dapat berjalan bersama-sama dan menjadi focus pendorong dalam
pembangunan berkelanjutan. Dalam buku “Bunga Rampai Pembangunan Kota
Indonesia dalam Abad 21” (Buku 1) Sarosa menyampaikan bahwa pada era
sebelum pembangunan berkelanjutan digaungkan, pertumbuhan ekonomi
merupakan satu-satunya tujuan bagi dilaksanakannya suatu pembangunan
tanpa mempertimbangkan aspek lainnya. Selanjutnya pada era pembangunan
berkelanjutan saat ini ada 3 tahapan yang dilalui oleh setiap Negara.
Pada setiap tahap, tujuan pembangunan adalah pertumbuhan ekonomi namun
dengan dasar pertimbangan aspek-aspek yang semakin komprehensif dalam
tiap tahapannya. Tahap pertama dasar pertimbangannya hanya pada
keseimbangan ekologi. Tahap kedua dasar pertimbangannya harus telah
memasukkan pula aspek keadilan sosial. Tahap ketiga, semestinya dasar
pertimbangan dalam pembangunan mencakup pula aspek aspirasi politis dan
sosial budaya dari masyarakat setempat. Tahapan-tahapan ini digambarkan
sebagai evolusi konsep pembangunan berkelanjutan, seperti dalam Gambar 1
berikut ini.
Indikator / Kriteria Pembangunan Berkelanjutan
0 Januari 2009 pukul 1Phase 1 Phase 2 Phase 3
Berdasarkan
konsep pembangunan berkelanjutan tersebut, maka indikator pembangunan
berkelanjutan tidak akan terlepas dari aspek-aspek tersebut diatas,
yaitu aspek ekonomi, ekologi/lingkungan, sosial, politik, dan budaya.
Sejalan dengan pemikiran tersebut, Djajadiningrat (2005) dalam buku Suistanable Future:
Menggagas Warisan Peradaban bagi Anak Cucu, Seputar Pemikiran Surna
Tjahja Djajadiningrat, menyatakan bahwa dalam pembangunan yang
berkelanjutan terdapat aspek keberlanjutan yang perlu diperhatikan,
yaitu:
1. Keberlanjutan Ekologis
2. Keberlanjutan di Bidang Ekonomi
3. Keberlanjutan Sosial dan Budaya
4. Keberlanjutan Politik
5. Keberlanjutan Pertahanan Keamanan
Prof.
Otto Soemarwoto dalam Sutisna (2006), mengajukan enam tolok ukur
pembangunan berkelanjutan secara sederhana yang dapat digunakan baik
untuk pemerintah pusat maupun di daerah untuk menilai keberhasilan
seorang Kepala Pemerintahan dalam pelaksanaan proses pembangunan
berkelanjutan. Keenam tolok ukur itu meliputi:
- pro lingkungan hidup;
- pro rakyat miskin;
- pro kesetaraan jender;
- pro penciptaan lapangan kerja;
- pro dengan bentuk negara kesatuan RI dan
- harus anti korupsi, kolusi serta nepotisme. Berikut ini penjelasan umum dari masing-masing tolok ukur.
Tolok ukur pro lingkungan hidup (pro-environment)
dapat diukur dengan berbagai indikator. Salah satunya adalah indeks
kesesuaian,seperti misalnya nisbah luas hutan terhadap luas wilayah
(semakin berkurang atau tidak), nisbah debit air sungai dalam musim
hujan terhadap musim kemarau, kualitas udara, dan sebagainya. Berbagai
bentuk pencemaran lingkungan dapat menjadi indikator yang mengukur
keberpihakan pemerintah terhadap lingkungan. Terkait dengan tolok ukur
pro lingkungan ini, Syahputra (2007) mengajukan beberapa hal yang dapat
menjadi rambu-rambu dalam pengelolaan lingkungan yang dapat dijadikan
indikator, yaitu:
- Menempatkan suatu kegiatan dan proyek pembangunan pada lokasi secara benar menurut kaidah ekologi.
- Pemanfaatan sumberdaya terbarukan (renewable resources) tidak boleh melebihi potensi lestarinyaserta upaya mencari pengganti bagi sumberdaya takterbarukan(non-renewable resources).
- Pembuangan limbah industri maupun rumah tangga tidak boleh melebihi kapasitas asimilasi pencemaran.
- Perubahan fungsi ekologis tidak boleh melebihi kapasitas daya dukung lingkungan (carrying capacity).
Tolok ukur pro rakyat miskin (pro-poor)
bukan berarti anti orang kaya. Yang dimaksud pro rakyat miskin dalam
hal ini memberikan perhatian pada rakyat miskin yang memerlukan
perhatian khusus karena tak terurus pendidikannya, berpenghasilan
rendah, tingkat kesehatannya juga rendah serta tidak memiliki modal
usaha sehingga daya saingnya juga rendah. Pro rakyat miskin dapat diukur
dengan indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau HumanDevelopment Index (HDI) dan Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) atau Human Poverty Index (HPI)
yang dikembangkan PBB. Kedua indikator ini harus dilakukan bersamaan
sehingga dapat dijadikan tolok ukur pembangunan yang menentukan. Nilai
HDI dan HPI yang meningkat akan dapat menunjukkan pembangunan yang pro
pada rakyat miskin.
Tolok ukur pro kesetaraan jender/pro-perempuan (pro-women),
dimaksudkan untuk lebih banyak membukakesempatan pada kaum perempuan
untuk terlibat dalamarus utama pembangunan. Kesetaraan jender ini
dapatdiukur dengan menggunakan Gender-related.Develotmenta.Index (GDI) dan Gender Empowerment Measure (GEM)
untuk suatu daerah.Jika nilai GDI mendekati HDI, artinyadi daerah
tersebut hanya sedikitterjadi disparitas jender dan kaumperempuan telah
semakin terlibat dalam proses pembangunan.
Tolok ukur pro pada kesempatan hidup atau kesempatan kerja
(pro-livelihood opportunities)
dapat diukur dengan menggunakan berbagai indikator seperti misalnya
indikator demografi (angkatan kerja, jumlah penduduk yang bekerja, dan
sebagainya), index gini, pendapatan perkapita, dan lain-lain. Indikator
Kesejahteraan Masyarakat juga dapat menjadi salah satu hal dalam melihat
dan menilai tolok ukur ini
Tolok ukur pro dengan bentuk negara kesatuan RI merupakan
suatu keharusan, karena pembangunanberkelanjutan yang dimaksud adalah
untuk bangsaIndonesia yang berada dalam kesatuan NKRI.
Tolok ukur anti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dapat dilihat
dari berbagai kasus yang dapat diselesaikanserta berbagai hal lain yang
terkait dengan gerakan anti KKNyang digaungkan di daerah
bersangkutan.Buah pemikiran pakar lingkungan ini sejalan denganbuah
pemikiran beberapa konseptor pembangunan berkelanjutan yang dirangkum
oleh Gondokusumo (2005),dimana disebutkan syarat-syarat yang perlu
dipenuhi untuktercapainya
proses pembangunan berkelanjutan (Tabel1). Syarat-syarat tersebut
secara umum terbagi dalam 3 indikator utama, yaitu:
- Pro Ekonomi Kesejahteraan, maksudnya adalah pertumbuhan ekonomi ditujukan untuk kesejahteraan semua anggota masyarakat, dapat dicapai melalui teknologi inovatif yang berdampak minimum terhadap lingkungan.
- Pro Lingkungan Berkelanjutan, maksudnya etika lingkungan non antroposentris yang menjadi pedoman hidup masyarakat, sehingga mereka selalu mengupayakan kelestarian dan keseimbangan lingkungan, konservasi sumberdaya alam vital, dan mengutamakan peningkatan kualitas hidup non material.
- Pro Keadilan Sosial, maksudnya adalah keadilan dan kesetaraan akses terhadap sumberdaya alam dan pelayanan publik, menghargai diversitas budaya dan
Budimanta (2005) menyatakan, untuk suatu proses pembangunan berkelanjutan, maka perlu diperhatikan hal hal sebagai berikut:
- Cara berpikir yang integratif. Dalam konteks ini, pembangunan haruslah melihat keterkaitan fungsional dari kompleksitas antara sistem alam, sistem sosial dan manusia di dalam merencanakan, mengorganisasikan maupun melaksanakan pembangunan tersebut.
- Pembangunan berkelanjutan harus dilihat dalam perspektif jangka panjang. Hingga saat ini yangbanyak mendominasi pemikiran para pengambilkeputusan dalam pembangunan adalah kerangkapikir jangka pendek, yang ingin cepat mendapatkanhasil dari proses pembangunan yang dilaksanakan.Kondisi ini sering kali membuat keputusan yangtidak memperhitungkan akibat dan implikasi padajangka panjang, seperti misalnya potensi kerusakanhutan yang telah mencapai 3,5 juta Ha/tahun, banjiryang semakin sering melanda dan dampaknya yangsemakin luas, krisis energi (karena saat ini kita telahmenjadi nett importir minyak tanpa pernah melakukanlangkah diversifi kasi yang maksimal ketika masih dalamkondisi surplus energi), moda transportasi yang tidakberkembang, kemiskinan yang sulit untuk diturunkan,dan seterusnya.
- Mempertimbangkan keanekaragaman hayati, untuk memastikan bahwa sumberdaya alam selalu tersedia secara berkelanjutan untuk masa kini dan masa mendatang. Yang tak kalah pentingnya adalah juga pengakuan dan perawatan keanekaragaman budaya yang akan mendorong perlakukan yang merata terhadap berbagai tradisi masyarakat sehingga dapat lebih dimengerti oleh masyarakat.
- Distribusi keadilan sosial ekonomi. Dalam konteks ini dapat dikatakan pembangunan berkelanjutan menjamin adanya pemerataan dan keadilan sosial yang ditandai dengan meratanya sumber daya lahan dan faktor produksi yang lain, lebih meratanya akses peran dan kesempatan kepada setiap warga masyarakat, serta lebih adilnya distribusi kesejahteraan melalui pemerataan ekonomi
Peran Tata Ruang Dalam Pembangunan Kota Berkelanjutan
Terkait dengan
pembangunan perkotaan, maka kota yang menganut paradigma pembangunan
berkelanjutan dalam rencana tata ruangnya merupakan suatu kota yang
nyaman bagi penghuninya, dimana akses ekonomi dan sosial budaya terbuka
luas bagi setiap warganya untuk memenuhi kebutuhan dasar maupun
kebutuhan interaksi sosial warganya serta kedekatan dengan
lingkungannya. Menurut Budimanta (2005), bila kita membandingkan wajah
kota Jakarta dengan beberapa kota di Asia maka akan terlihat kontras
pembangunan yang dicapai. Singapura telah menjadi kota taman, Tokyo
memiliki moda transportasi paling baik di dunia, serta Bangkok sudah
berhasil menata diri menuju keseimbangan baru ke arah kota dengan
menyediakan ruang yang lebih nyaman bagi warganya melalui perbaikan moda
transportasinya. Perbedaan terjadi karena Jakarta menerapkan cara
pandang pembangunan konvensional yang melihat pembangunan dalam konteks
arsitektural, partikulatif dalam konteks lebih menekankan pada aspek
fisik dan ekonomi semata. Sedangkan ketiga kota lainnya menerapkan cara
pandang pembangunan berkelanjutan dalam berbagai variasinya, sehingga
didapatkan kondisi ruang kota yang lebih nyaman sebagai ruang hidup
manusia di dalamnya.
Menurut Budihardjo
(2005), rencana tata ruang adalah suatu bentuk kebijakan publik yang
dapat mempengaruhi keberlangsungan proses pembangunan berkelanjutan.
Namun masih banyak masalah dan kendala dalam implementasinya dan
menimbulkan berbagai konfl ik kepentingan. Konflik yang paling sering
terjadi di Indonesia adalah konfl ik antar pelaku pembangunan yang
terdiri dari pemerintah (public sector), pengusaha atau pengembang (private sector), profesional (expert),
ilmuwan (perguruan tinggi), lembaga swadaya masyarakat, wakil
masyarakat, dan segenap lapisan masyarakat. Konfl ik yang terjadi antara
lain: antara sektor formal dan informal atau sektor modern dan
tradisional di perkotaan terjadi konfl ik yang sangat tajam; proyek “urban renewal” sering diplesetkan sebagai “urban removal”;
fasilitas publik seperti taman kota harus bersaing untuk tetap eksis
dengan bangunan komersial yang akan dibangun; serta bangunan bersejarah
yang semakin menghilang berganti dengan bangunan modern dan minimalis
karena alasan ekonomi. Dalam kondisi seperti ini, maka kota bukanlah
menjadi tempat yang nyaman bagi warganya. Kaidah-kaidah pembangunan
berkelanjutan cenderung dikibarkan sebagai slogan yang terdengar sangat
indah, namun kenyataan yang terjadi malah bertolak belakang. Terkait
dengan berbagai konfl ik tersebut, maka beberapa usulan yang diajukan
Budihardjo (2005) untuk meningkatkan kualitas perencanaan ruang, antara
lain:
- Orientasi jangka panjang yang ideal perlu disenyawakan dengan pemecahan masalah jangkapendek yang bersifat inkremental, dengan wawasan pada pelaksanaan atau action oriented plan.
- Penegakan mekanisme development control lengkap dengan sanksi (disinsentif) bagi berbagai jenis pelanggaran dan insentif untuk ketaatan pada peraturan.
- Penataan ruang secara total, menyeluruh dan terpadu dengan model-model advocacy, participatory planning dan over-the-board planning atau perencanaan lintas sektoral, sudah saatnya dilakukan secara konsekuendan konsisten.
- Perlu peningkatan kepekaan sosio kultural dari para penentu kebijakan dan para professional (khususnya di bidang lingkungan binaan) melalui berbagai forum pertemuan/diskusi/ceramah/publikasi, baik secara formal maupun informal.
- Perlu adanya perhatian yang lebih terhadap kekayaan khasanah lingkungan alam dalam memanfaatkan sumber daya secara efektif dan efi sien.
- Keunikan setempat dan kearifan lokal perlu diserap sebagai landasan dalam merencanakan dan membangun kota, agar kaidah a city as a social workof art dapat terejawantahkan dalam wujud kota yang memiliki jati diri. Fenomena globalization withlocal fl avour harus dikembangkan untuk menangkal penyeragaman wajah kota dan tata ruang. Disamping enam usulan tersebut tentunya implementasi indikator-indikator pembangunan berkelanjutan yang berpijak pada keseimbangan pembangunan dalam sedikitnya 3 (tiga) pilar utama, yaitu ekonomi, lingkungan dan sosial harus menjadi dasar pertimbangan sejak awal disusunnya suatu produk rencana tata ruang kota/wilayah.
Ruang Lingkup:
a. Penataan Ruang Wilayah dan Sistem Spasial
b. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Pembangunan Daerah Pedesaan dan Perkotaan
c. Optimalisasi Perencanaan dan Pengelolaan Sumberdaya untuk Penciptaan Keunggulan Komparatif da Kompetitif
d. Sistem Kelembagaan dan Tenaga Ahli tentang Spasial Manajemen Pengembangan Wilayah
VISI :
Menjadi pusat pengkajian terkemuka di bidang ilmu-ilmu kewilayahan, perencanaan wilayah, pengembangan wilayah dan sistem informasi wilayah, dengan kompetensi utama sistem-sistem wilayah tropika kepulau, negara-negara berkembanga, pertaian dan perdesaan yang menjadi rujukan nasional maupun internasional
MISI : Melaksanakan proses pengkajian dan pengembangan ilmu-ilmu kewilayahan
Memfasilitasi dan mengembangkan proses akademik program-program pendidikan yang berkaitan dengan ilmu kewilyahan
Menyebarluaskan produk-produk kajian kewilayahan dlam bentuk publikasi, seminar dan lokakarya secara berkala
Mengembangkan pangkalan akumulasi data, informasi dan model-model hasil kajian kewilayahan dalam bentuk sistem informasi wilayah
Mengembangkan jaringan kemitraan antar berbagai pihak yang berkepentingan dengan pengembangan ilmu dan kepakaran bidang kewilayahan, perencanaan wilayah, pengembagnan wilayah dan sistem informasi wilyah
Divisi
Pengembangan Sumberdaya Manusia Perencana
Ekonomi Wilayah, Tata Ruang dan Lingkungan Hidup
Sistem Informasi Wilayah
Perencanaan dan Pengembangan Masyarakat
http://splashurl.com/okmd26t
http://splashurl.com/q9z6vrv
Langganan:
Postingan (Atom)